Ruang Bacaku

“The ink of a scholar is holier than the blood of a martyr. A man reading is handsome in the sight of God. So learn to read. And when you have learned, teach !”. That is the Wisdom of Mohammad. This room is dedicated for those who love to read and teach

My Photo
Name:
Location: Tokyo, Japan

Economist, Philosopher, Food Lover. Lives in Tokyo, Japan.

Wednesday, May 24, 2006

Kasih Sayang dan Pengkhianatan

Sebuah novel yang menyentuh perasaan. Kisahnya filmis dan mengharukan. Tak heran bila Publisher Weekly International menempatkan novel ini sebagai novel terlaris sepanjang 2005. The Kite Runner berkisah tentang persahabatan dua bocah yang hidupnya direkatkan, juga dirontokkan, oleh sebuah permainan: layang-layang. The Kite Runner adalah sebuah kisah yang memiliki kekuatan tentang keluarga, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Settingnya adalah Afghanistan sebelum pendudukan Rusia. Amir,penganut Islam Sunni, berdarah Pashtun, kelompok paling dominan di Afganistan. Ia anak terdidik dan mempelajari sastra serta peradaban bangsa-bangsa. Ayahnya seorang saudagar berpengaruh di kota Kabul dan pemilik Mustang hitam yang juga dikendarai oleh bintang film Hollywood pada saat itu. Sementara sahabatnya, Hassan, berdarah Hazara, penganut Islam Syiah, pariah dalam strata sosial masyarakat Afghan. Hassan ringkih, buta huruf, sumbing, dan hanya tahu kisah epik abad ke-10 tentang pahlawan-pahlawan Persia Kuno, Shahnamah. Hassan adalah putra dari Ali, pembantu setia ayah Amir. Meski hubungan mereka seperti majikan-budak, Amir dan Hassan sangat karib. Dengan suka cita mereka menoreh batang-batang pohon di ibu kota dengan tulisan bombastis: Amir dan Hassan, Sultan-sultan Kabul. Satu-satunya persamaan: keduanya tak pernah mengalami sentuhan kasih ibu kandung sejak pertama melihat dunia.

Khaled Hosseini, sang pengarang, secara cantik menghadirkan sisi-sisi lain dari negeri Afghanistan, negeri indah yang hingga kini masih menyimpan duka. Tetapi, bahkan kepedihan selalu menyimpan kebahagiaan. Di tengah belantara puing di kota Kabul. Keduanya direkatkan oleh sebuah permainan yang terkenal, layang-layang. Di sinilah momen penting dalam persahabatan itu muncul. Usai pertandingan layang-layang, Amir menyaksikan sesuatu terjadi pada sahabatnya, Hassan. Anak-anak tanggung suku Pashtun menyiksanya, dan ingin merampas layang-layang milik Amir yang dipegang Hassan. Dan bukan hanya menyiksa, mereka men-"sodomi" Hassan. Melihat itu, Amir hanya diam bersembunyi di kejauhan. Hassan, dilain sisi, membela majikannya, tak mau menyerahkan layang-layang demi majikannya, walau kemudian ia harus mengalami penyiksaan yang pedih.

Keduanya “mati” secara bersamaan--pada hari mereka menang festival layang-layang di kota itu. Amir roboh secara psikologis setelah menyadari dirinya tak lebih dari seorang pengecut yang menjijikkan. Hassan, dilain sisi, luruh secara eksistensial, seraya membiarkan dirinya bak potongan karpet yang rela diinjak setiap orang. Semua terjadi saat umur mereka belum lagi 13 tahun.

"Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan,
untuk menentukan apa jadinya diriku.

Aku bisa melangkah memasuki gang itu,
membela Hassan dan menerima apa pun yang mungkin menimpaku.

Atau aku bisa melarikan diri.
Akhirnya......aku melarikan diri."


Setting cerita kemudian bergerak pada saat Rusia menginvasi Afghanistan, keadaan kacau balau. Amir dan ayahnya mencari suaka politik ke Amerika. Iapun terpisah dengan Hassan, yang tak tahu entah dimana. Cerita bergerak cepat sampai Amir menginjak usia 38. Ia menikah dengan dambaan hatinya, seorang gadis Afghanistan pelarian juga, bernama Soraya. Tapi, di usianya yang ke-38, Amir mendapati bahwa seluruh kehidupannya dibangun di atas tumpukan dusta dan dosa-dosa masa lalu. Tetapi, duka masa silam yang telah terkubur dalam-dalam pun senantiasa menyeruak kembali. Hadir membawa luka-luka lama. Dan seperti layang-layang, tak kuasa menahan badai, Amir harus menghadapi kenangannya yang mewujud kembali.

Menjelang sepertiga akhir novel, kita dibawa kembali ke dalam situasi berbahaya di Afghanistan. Tak ada opsi lain yang bisa diambil Amir selain masuk ke negeri itu untuk menuntaskan utang masa lalunya. Buku ini menarik, karena ia tak berpretensi menjadikan sang tokoh sebagai protagonis murni yang berani menghadapi segala tantangan. Bahwa manusia memiliki sisi gelap manusia: pada saat-saat tertentu ia dapat menjadi pengecut, atau menghindari tanggung jawab. Tapi pesannya adalah, samapi seberapa lama kita bisa hidup dengan kepengecutan dan pelarian dari tanggung jawab tersebut. Ia akan terus menhantui hidup kita. Selamanya.

Monday, May 22, 2006

Cinta, Kesabaran, dan Kegigihan

"Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?" tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu. "Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada." demikian selintas percakapan antara sang Alkemis dan Santiago, anak gembala yang mengikuti suara hatinya dan berkelana mengejar mimpinya.

Sang Alkemis, buku karya Paul Coelho ini adalah salah satu buku yang paling banyak dibaca di dunia. Kisahnya sederhana tapi maknanya sangat dalam dan indah. Kisah yang mampu menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Its a must read book.

Kisah ini dimulai dari mimpi Santiago, si anak laki-lagi yang menjadi gembala domba di daerah Andalusia. Santiago bermimpi akan harta karun. Menurut seorang pintar, ia diminta mengikuti suara hatinya, mengejar dimana harta itu berada. Santiago sudah hidup dalam zona kenyamanan. Ia telah memiliki segalanya, domba yang banyak, hidup yang menyenangkan, cita-cita yang tercapai. Kalau ia mengorbankan apa yang ia punya, belum tentu ia mendapatkan yang lebih baik. Tapi suara hatinya begitu kuat. Ia menjual seluruh dombanya dan mulailah mengembara mengikuti suara hati. Pengalaman selama mengembara ternyata mengubah pandangan Santiago terhadap hidup. Ia sempat kecurian, uangnya habis, bekerja di pabrik kristal, bertemu orang Inggris, dan sang Alkemis.

Diantara berbagai kegelisahan dan kebimbangannya, Santiago selalu yakin bahwa setiap hari adalah untuk dijalani, atau untuk menandai kepulangan kita dari dunia ini. Segalanya bergantung pada satu kata: Maktub. Telah dituliskan. Dalam sebuah keputusasaan, sang Alkemis berkata," Kalau seseorang bersungguh-sungguh menginginkan sesuatu, seisi jagat raya bahu membahu membantu orang itu mewujudkan impiannya." Inilah akar kegigihan dari Santiago dalam mengarungi perjalanannya. Cinta, kesabaran, dan kegigihan. Itulah sifat-sifat dasar yang dimiliki Santiago. Dengan itu, ia dapat mencapai cita-cita hidupnya.

Pak Tua yang Tak Mudah Menyerah

Ini salah satu buku tipis favorit saya. Sebuah kisah sederhana yang digambarkan oleh Ernest Hemingway dengan sangat baik. The Old Man and The Sea (Si Tua dan Laut). Buku ini berkisah tentang seorang nelayan tua dari Kuba dan perjuangan besarnya: sebuah perjuangan dalam menangkap ikan marlin besar di Gulf Stream. Hari demi hari, bulan demi bulan, dilalui pak tua menantang ombak dan badai mencari ikan marlin besar. Keberanian pak tua dalam perjuangan mengalahkan ikan marlin yang besar digambarkan Hemingway sebagai sebuah tema abadi tentang keberanian dalam menghadapi kekalahan dan kemenangan. Sungguh menarik bagaimana Hemingway menceritakannya. Setelah melalui perjuangan panjang, nelayan tersebut akhirnya berhasil menangkap ikan marlin yang besar.

Namun dalam perjalanan pulang, ia diserang oleh ikan hiu. Ia melawan dan memberontak. Ikan hiu itupun mencaplok dan menggerogoti daging marlin hasil tangkapannya. Akhirnya nelayan itu hanya bisa pulang membawa tulang belulang ikan marlin. Tapi pak tua tidak sedih. Ia tetap dapat bangga kembali ke rumahnya. Bukan hasil yang ia cari. Tapi perjuangan, kebulatan tekad, dan semangat pantang menyerah, itulah yang ia tunjukkan. Kisah ini sungguh menginspirasi kita semua dalam bekerja. Kadang kita kerap terlalu fokus pada hasil. Bahkan kita ingin mencari jalan pintas menuju hasil. Kerja keras, pasang surut, kekalahan, adalah hal-hal yang kita kurang sukai. Padahal itu adalah jalan hakiki dalam memaknai arti sebuah kerja, dan tentu, kehidupan itu sendiri.

Spiritualitas Tukang Becak Jogja

Waton Urip bukan berarti "Asal Hidup", tetapi "Hidup tanpa Memberontak Terhadap Hidup". Itulah kisah tentang kehidupan tukang becak di Jogja. Di tengah keras, miskin, dan penderitaan hidup, ternyata tukang becak jogja mampu mentransedensi kesulitan hidup dan meloloskan diri dari kekejaman dunia. Para tukang becak itu berani hidup tanpa memberontak pada kehidupan. Strateginya adalah memaksimalkan kekuatan-kekuatan unik seperti solidaritas sosial, keberanian, keuletan, integritas, kebaikan hati, pengendalian diri, dan rendah hati. Inilah rupanya yang mampu membuat tukang becak Jogja meloloskan diri dari kekejaman dunia.

Filsafat tukang becak adalah banyu mili. "Rezekinya tukang becak seperti mbanyu mili". Kendati tidak besar, rezeki mereka selalu mengalir. Memang mili sendiri berarti terus mengalir, walau tidak deras, seperti sungai kecil, yang kendati sedikit airnya tiada henti mengalir. Apa yang diberikan hidup, diterima. Apa yang tidak diberikan, jangan diminta.

Hal ini dilihat secara jeli oleh Agus Leonardus melalui jepretan fotonya pada buku Waton Urip. Narasinya dibuat secara menarik oleh Romo Sindhunata. Tukang becak, dalam pendapat Sindhunata, mengajarkan kita untuk menerima apa yang diberikan oleh kehidupan, tapi jangan meminta apa yang tak diberikan oleh kehidupan. Sebuah filosofi sederhana, bukan bermakna pasrah, karena konsep “nrimo” sebenarnya mengandung energi perjuangan bagi orang yang mengerti betul makna dan falsafahnya. Inilah pentingnya kita melakukan transedensi diri, seperti para tukang becak di Jogja. Manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan transedensi. Manusia bisa mengambil jarak ataupun keluar dari dirinya lalu dengan kesadaran melihat dirinya sebagai obyek. Kita bisa melihat diri kita sebagai subyek sekaligus obyek. Kita bisa berdialog dengan diri sendiri. Dengan pengalaman masa lalu. Dengan imaji masa depan. Itulah yang dilakukan para tukang becak di Jogja.

Tapi penyakit orang modern adalah sibuk dan glamor, bergelimang materi, tapi kering spiritual. Mungkin kita perlu melakukan renungan-renungan di ujung hari. Kita perlu belajar dari tukang becak di Jogja. Kita perlu membaca buku ”Waton Urip”. Dan, mungkin inilah juga kenapa saya suka memilih restoran-restoran di gedung tinggi . . . .biar sambil makan bisa melihat dunia dari sisi yang lebih tinggi hehe....

Pemberontakan Sunyi Lady Constance

Novel Sastra klasik ini menarik dan memiliki pesan yang dalam. Pernah dibahas Goenawan Mohammad dalam sebuah tulisan. Saya mencoba mengalirkannya kembali di sini. Setelah saya baca sendiri novel ini, sungguh bisa bikin deg-degan. Cara D.H. Lawrence menuturkan cerita dan mengalunkan bahasa untuk menggambarkan sesuatu yang sulit dibayangkan, sangat indah. Inilah sebuah karya sastra. Bahasanya ekspresif tapi juga komunikatif. Lady Chatterly's Lover adalah novel kedua yang ditulis oleh D.H. Lawrence pada tahun 1928. Saat itu, novel ini ditolak dimana-mana karena dianggap karya pornografis. Hanya ada satu penerbit Italia yang mau menerimanya. Novel ini bercerita tentang tokoh Constance Chatterley yang menikah dengan Sir Clifford, tuan tanah yang kaya. Sayangnya, Sir Clifford terluka dalam perang. Ia bukan saja lumpuh, tapi impoten. Kelebihannya hanya pada saat ia memimpin bisnisnya. Kehidupan bersama Sir Clifford, bagi Lady Constance adalah sebuah kesepian, kebosanan, kehampaan, dan ketertindasan. Dari waktu ke waktu ia merasakan penderitaan dalam keheningan. Ia akhirnya menemukan kembali gairah hidup setelah bertemu dengan Michaelis, lelaki yang tinggal menyendiri di sebuah gubuk di tanah milik Sir Clifford. Ia juga bekerja sebagai game keeper Sir Clifford, tugasnya mengurus burung-burung dan melepaskannya untuk jadi sasaran tembak.

Suatu malam mereka memadu kasih. Connie mengalami keajaiban gairah dalam persetubuhan yang telah lama tak dirasakannya. Dalam pagutan berahi kekasihnya, ia merasa diri "laut". Ia deru dan debur, samudara dengan gelombang gemuruh yang tiada putus. "Ah... jauh di bawah, palung-palung terkuak, bergulung, terbelah, ahh..." demikian ditulis dalam gelora dan gairah oleh D.H Lawrence. Sungguh suasana yang erotik dalam kalimat yang memiliki ritme naik turun. Kitapun terbawa dalam imaji yang, tak putus-putus.

Connie hamil dari hubungan gelap itu. Tapi ia tak takut. Dalam diamnya, ia memberontak. Ia menghendaki seorang anak meski sebenarnya ia juga mencintai lelaki kelas bawah yang jadi kekasihnya. Mereka saling mencintai. Itu kata-kata yang selalu mereka bisikkan di tempat tidur. Pada akhirnya Connie meminta cerai dari Sir Clifforrd. Tapi ditolak !! Kisah ini memang dibiarkan menggantung. Connie dan kekasih gelapnya menunggu. Tapi selebihnya memang tak penting. Pesan novel ini jelas, protes sudah disampaikan, bahkan dijalani dengan perbuatan. Bukan salah perempuan, bukan salah percintaan, bukan salah seks. Kesalahan adalah pada kerakusan manusia yang kadang melupakan sisi-sisi kemanusiaan itu sendiri.

Makan, Berdoa, dan Cinta

Elizabeth Gilbert, dalam kata-katanya, adalah tipe orang yang merasa ditakdirkan untuk hidup di Bali selama beberapa bulan. Dia adalah wanita yang menarik, blonde, senang bepergian, dan senang kepada hal-hal yang bersifat spiritual. Pada usia 34, Gilbert melewati masa yang sulit dalam hidupnya. Ia mengalami perceraian yang menyakitkan. Iapun memutuskan untuk mengambil gaya Diane Lane dalam "Under the Tuscan Sun, pergi selama setahun untuk travelling. Dia mengunjungi Italia untuk mengeksplorasi kenikmatan-kenikmatan dunia, ke India untuk belajar cinta kasih spiritual, dan ke Indonesia, entah untuk apa, pokoknya ia hanya mau melihat apa yang dilakukan orang di Indonesia. Setelah itu ia akan menulis sebuah memoar yang menyenangkan untuk dibaca. Itulah buku yang diberi judul "Eat Pray Love" (Viking; 352 halaman).

Di Roma, dia menambah berat badan 10 kilogram. Setiap hari menikmati Italian pizza--dan mempelajari seni mistis, "the beauty of doing nothing." Di India, ia belajar meditasi. Di Bali dia belajar dari seorang bijak, dan akhirnya ia menemukan kedamaian bersama seorang pria muda asal Brazil bernama Felipe.

Tapi, yang mungkin mengejutkan, adalah kisah Gilbert di bagian mengenai Doa. Ia menceritakan bagaimana ia belajar dan berjuang menemukan dirinya sendiri dan kedamaian. Membaca kitab-kitab berbahasa Sansekerta, meditasi di tengah gigitan nyamuk, adalah tahap-tahap yang dilaluinya untuk mencapai Nirvana. Diapun memahami seperti apa surga itu dalam meditasinya: "You may return here once you have fully come to understand that you are always here."

Friday, May 19, 2006

Menanyakan Benak Pikiran Tuhan


Salah satu buku yang pernah saya baca di tahun 90-an adalah karya Stephen Hawking, A Brief History of Time. Sayang buku itu terlalu tekhnis dan banyak memuat konsep-konsep yang membingungkan. Jadi terlewatkan begitu saja. Saya merasa gembira saat di tahun 2005, Hawking menangkap kegalauan itu. Bukunya yang terbaru, A Briefer History of Time, ditulis bersama Leonard Mlodinow, adalah buku scientific yang bernuansa pop. Di dalamnya tetap dijelaskan sifat dari ruang dan waktu, peranan Tuhan dan penciptaan, serta sejarah dan masa depan alam semesta. Namun di sana tak banyak ditulis konsep-konsep matematis dan persamaan-persamaan tekhnis. Inilah yang membuatnya enak dibaca.

Buku ini diawali dengan pertanyaan-pertanyaan perennial. Apa yang kita tahu tentang waktu? Kapan mulai diciptakannya waktu? Bisakah kita memutar balik waktu? Apa yang kita pahami tentang alam semesta? Bagaimana kita mengetahuinya? Dari mana alam semesta berasal? Dan kemana ia menuju? Apakah alam semesta memiliki awal? Bila ya, apa yang ada sebelum alam semesta? Pertanyaan ini menggelitik dan membuat buku ini semakin mengasyikkan untuk dibaca.

Pemahaman awal tentang alam semesta adalah mengenai bumi yang datar dan ditopang oleh kura-kura. Aristoteles meyakini bahwa bumi adalah pusat semesta. Meski masih menganggap bumi sebagai pusat, Ptolemy menyempurnakan konsep Aristoteles dengan sistem orbit. Barulah pada tahun 1514, Copernicus mengeluarkan teori yang menghebohkan pada waktu itu. Mataharilah yang menjadi pusat. Bumi mengelilingi matahari. Ide ini terus berkembang dan disempurnakan oleh Kepler dan Galileo Galilei. Di tahun 1687, Isaac Newton melalui bukunya Principia Mathematica mempresentasikan hukum bahwa semua benda adalah statis kecuali ada kekuatan yang mempengaruhinya. Kenapa planet bergerak mengelilingi matahari? Menurut Newton karena ada sebuah kekuatan yang dinamainya Gravitasi. Pemikiran Newton bertahan lama. Penyempurnaan demi penyempurnaan kemudian dilakukan oleh para ilmuwan. Muncullah pemikiran quantum mechanic. Kemudian disempurnakan oleh Einstein dengan teori relativitasnya.

Dalam relativitas diyakini bahwa alam semesta ini dimulai dengan terjadinya Big Bang. Inilah saat dimulainya waktu. Hal yang sama juga begitu. Akan tiba saatnya alam semesta berakhir, inilah yang disebut Big Crunch, saat berakhirnya waktu. Lantas kenapa waktu berjalan maju seperti kereta di atas rel. Mungkinkan kita berjalan mundur dalam waktu? Hawking mengatakan bahwa secara teori hal itu dimungkinkan. Namun saat ini kita belum memiliki kecanggihan alat. Tapi ia meyakini bahwa Tuhan memiliki rencana kenapa waktu berjalan maju. Einsteinpun pernah bertanya, Berapa banyak pilihan yang dimiliki Tuhan saat membuat alam semesta? Mengapa ia memilih alam semesta yang seperti ini. Penjelasan ilmiah terus menerus berupaya menguak pertanyaan tersebut.

Ujung dari cerita buku ini tetaplah sebuah pertanyaan dan harapan. Kenapa kita dan alam semesta ini ada? Sampai kita mampu menjawabnya, itulah puncak pencapaian kemanusiaan (human triumph). Memahami jawaban pertanyaan tadi berarti kita memahami apa yang ada dalam benak pikiran Tuhan.