Kasih Sayang dan Pengkhianatan
Sebuah novel yang menyentuh perasaan. Kisahnya filmis dan mengharukan. Tak heran bila Publisher Weekly International menempatkan novel ini sebagai novel terlaris sepanjang 2005. The Kite Runner berkisah tentang persahabatan dua bocah yang hidupnya direkatkan, juga dirontokkan, oleh sebuah permainan: layang-layang. The Kite Runner adalah sebuah kisah yang memiliki kekuatan tentang keluarga, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Settingnya adalah Afghanistan sebelum pendudukan Rusia. Amir,penganut Islam Sunni, berdarah Pashtun, kelompok paling dominan di Afganistan. Ia anak terdidik dan mempelajari sastra serta peradaban bangsa-bangsa. Ayahnya seorang saudagar berpengaruh di kota Kabul dan pemilik Mustang hitam yang juga dikendarai oleh bintang film Hollywood pada saat itu. Sementara sahabatnya, Hassan, berdarah Hazara, penganut Islam Syiah, pariah dalam strata sosial masyarakat Afghan. Hassan ringkih, buta huruf, sumbing, dan hanya tahu kisah epik abad ke-10 tentang pahlawan-pahlawan Persia Kuno, Shahnamah. Hassan adalah putra dari Ali, pembantu setia ayah Amir. Meski hubungan mereka seperti majikan-budak, Amir dan Hassan sangat karib. Dengan suka cita mereka menoreh batang-batang pohon di ibu kota dengan tulisan bombastis: Amir dan Hassan, Sultan-sultan Kabul. Satu-satunya persamaan: keduanya tak pernah mengalami sentuhan kasih ibu kandung sejak pertama melihat dunia.
Khaled Hosseini, sang pengarang, secara cantik menghadirkan sisi-sisi lain dari negeri Afghanistan, negeri indah yang hingga kini masih menyimpan duka. Tetapi, bahkan kepedihan selalu menyimpan kebahagiaan. Di tengah belantara puing di kota Kabul. Keduanya direkatkan oleh sebuah permainan yang terkenal, layang-layang. Di sinilah momen penting dalam persahabatan itu muncul. Usai pertandingan layang-layang, Amir menyaksikan sesuatu terjadi pada sahabatnya, Hassan. Anak-anak tanggung suku Pashtun menyiksanya, dan ingin merampas layang-layang milik Amir yang dipegang Hassan. Dan bukan hanya menyiksa, mereka men-"sodomi" Hassan. Melihat itu, Amir hanya diam bersembunyi di kejauhan. Hassan, dilain sisi, membela majikannya, tak mau menyerahkan layang-layang demi majikannya, walau kemudian ia harus mengalami penyiksaan yang pedih.
Keduanya “mati” secara bersamaan--pada hari mereka menang festival layang-layang di kota itu. Amir roboh secara psikologis setelah menyadari dirinya tak lebih dari seorang pengecut yang menjijikkan. Hassan, dilain sisi, luruh secara eksistensial, seraya membiarkan dirinya bak potongan karpet yang rela diinjak setiap orang. Semua terjadi saat umur mereka belum lagi 13 tahun.
"Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan,
untuk menentukan apa jadinya diriku.
Aku bisa melangkah memasuki gang itu,
membela Hassan dan menerima apa pun yang mungkin menimpaku.
Atau aku bisa melarikan diri.
Akhirnya......aku melarikan diri."
Setting cerita kemudian bergerak pada saat Rusia menginvasi Afghanistan, keadaan kacau balau. Amir dan ayahnya mencari suaka politik ke Amerika. Iapun terpisah dengan Hassan, yang tak tahu entah dimana. Cerita bergerak cepat sampai Amir menginjak usia 38. Ia menikah dengan dambaan hatinya, seorang gadis Afghanistan pelarian juga, bernama Soraya. Tapi, di usianya yang ke-38, Amir mendapati bahwa seluruh kehidupannya dibangun di atas tumpukan dusta dan dosa-dosa masa lalu. Tetapi, duka masa silam yang telah terkubur dalam-dalam pun senantiasa menyeruak kembali. Hadir membawa luka-luka lama. Dan seperti layang-layang, tak kuasa menahan badai, Amir harus menghadapi kenangannya yang mewujud kembali.
Menjelang sepertiga akhir novel, kita dibawa kembali ke dalam situasi berbahaya di Afghanistan. Tak ada opsi lain yang bisa diambil Amir selain masuk ke negeri itu untuk menuntaskan utang masa lalunya. Buku ini menarik, karena ia tak berpretensi menjadikan sang tokoh sebagai protagonis murni yang berani menghadapi segala tantangan. Bahwa manusia memiliki sisi gelap manusia: pada saat-saat tertentu ia dapat menjadi pengecut, atau menghindari tanggung jawab. Tapi pesannya adalah, samapi seberapa lama kita bisa hidup dengan kepengecutan dan pelarian dari tanggung jawab tersebut. Ia akan terus menhantui hidup kita. Selamanya.
Khaled Hosseini, sang pengarang, secara cantik menghadirkan sisi-sisi lain dari negeri Afghanistan, negeri indah yang hingga kini masih menyimpan duka. Tetapi, bahkan kepedihan selalu menyimpan kebahagiaan. Di tengah belantara puing di kota Kabul. Keduanya direkatkan oleh sebuah permainan yang terkenal, layang-layang. Di sinilah momen penting dalam persahabatan itu muncul. Usai pertandingan layang-layang, Amir menyaksikan sesuatu terjadi pada sahabatnya, Hassan. Anak-anak tanggung suku Pashtun menyiksanya, dan ingin merampas layang-layang milik Amir yang dipegang Hassan. Dan bukan hanya menyiksa, mereka men-"sodomi" Hassan. Melihat itu, Amir hanya diam bersembunyi di kejauhan. Hassan, dilain sisi, membela majikannya, tak mau menyerahkan layang-layang demi majikannya, walau kemudian ia harus mengalami penyiksaan yang pedih.
Keduanya “mati” secara bersamaan--pada hari mereka menang festival layang-layang di kota itu. Amir roboh secara psikologis setelah menyadari dirinya tak lebih dari seorang pengecut yang menjijikkan. Hassan, dilain sisi, luruh secara eksistensial, seraya membiarkan dirinya bak potongan karpet yang rela diinjak setiap orang. Semua terjadi saat umur mereka belum lagi 13 tahun.
"Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan,
untuk menentukan apa jadinya diriku.
Aku bisa melangkah memasuki gang itu,
membela Hassan dan menerima apa pun yang mungkin menimpaku.
Atau aku bisa melarikan diri.
Akhirnya......aku melarikan diri."
Setting cerita kemudian bergerak pada saat Rusia menginvasi Afghanistan, keadaan kacau balau. Amir dan ayahnya mencari suaka politik ke Amerika. Iapun terpisah dengan Hassan, yang tak tahu entah dimana. Cerita bergerak cepat sampai Amir menginjak usia 38. Ia menikah dengan dambaan hatinya, seorang gadis Afghanistan pelarian juga, bernama Soraya. Tapi, di usianya yang ke-38, Amir mendapati bahwa seluruh kehidupannya dibangun di atas tumpukan dusta dan dosa-dosa masa lalu. Tetapi, duka masa silam yang telah terkubur dalam-dalam pun senantiasa menyeruak kembali. Hadir membawa luka-luka lama. Dan seperti layang-layang, tak kuasa menahan badai, Amir harus menghadapi kenangannya yang mewujud kembali.
Menjelang sepertiga akhir novel, kita dibawa kembali ke dalam situasi berbahaya di Afghanistan. Tak ada opsi lain yang bisa diambil Amir selain masuk ke negeri itu untuk menuntaskan utang masa lalunya. Buku ini menarik, karena ia tak berpretensi menjadikan sang tokoh sebagai protagonis murni yang berani menghadapi segala tantangan. Bahwa manusia memiliki sisi gelap manusia: pada saat-saat tertentu ia dapat menjadi pengecut, atau menghindari tanggung jawab. Tapi pesannya adalah, samapi seberapa lama kita bisa hidup dengan kepengecutan dan pelarian dari tanggung jawab tersebut. Ia akan terus menhantui hidup kita. Selamanya.
<< Home