Ruang Bacaku

“The ink of a scholar is holier than the blood of a martyr. A man reading is handsome in the sight of God. So learn to read. And when you have learned, teach !”. That is the Wisdom of Mohammad. This room is dedicated for those who love to read and teach

My Photo
Name:
Location: Tokyo, Japan

Economist, Philosopher, Food Lover. Lives in Tokyo, Japan.

Monday, May 22, 2006

Pemberontakan Sunyi Lady Constance

Novel Sastra klasik ini menarik dan memiliki pesan yang dalam. Pernah dibahas Goenawan Mohammad dalam sebuah tulisan. Saya mencoba mengalirkannya kembali di sini. Setelah saya baca sendiri novel ini, sungguh bisa bikin deg-degan. Cara D.H. Lawrence menuturkan cerita dan mengalunkan bahasa untuk menggambarkan sesuatu yang sulit dibayangkan, sangat indah. Inilah sebuah karya sastra. Bahasanya ekspresif tapi juga komunikatif. Lady Chatterly's Lover adalah novel kedua yang ditulis oleh D.H. Lawrence pada tahun 1928. Saat itu, novel ini ditolak dimana-mana karena dianggap karya pornografis. Hanya ada satu penerbit Italia yang mau menerimanya. Novel ini bercerita tentang tokoh Constance Chatterley yang menikah dengan Sir Clifford, tuan tanah yang kaya. Sayangnya, Sir Clifford terluka dalam perang. Ia bukan saja lumpuh, tapi impoten. Kelebihannya hanya pada saat ia memimpin bisnisnya. Kehidupan bersama Sir Clifford, bagi Lady Constance adalah sebuah kesepian, kebosanan, kehampaan, dan ketertindasan. Dari waktu ke waktu ia merasakan penderitaan dalam keheningan. Ia akhirnya menemukan kembali gairah hidup setelah bertemu dengan Michaelis, lelaki yang tinggal menyendiri di sebuah gubuk di tanah milik Sir Clifford. Ia juga bekerja sebagai game keeper Sir Clifford, tugasnya mengurus burung-burung dan melepaskannya untuk jadi sasaran tembak.

Suatu malam mereka memadu kasih. Connie mengalami keajaiban gairah dalam persetubuhan yang telah lama tak dirasakannya. Dalam pagutan berahi kekasihnya, ia merasa diri "laut". Ia deru dan debur, samudara dengan gelombang gemuruh yang tiada putus. "Ah... jauh di bawah, palung-palung terkuak, bergulung, terbelah, ahh..." demikian ditulis dalam gelora dan gairah oleh D.H Lawrence. Sungguh suasana yang erotik dalam kalimat yang memiliki ritme naik turun. Kitapun terbawa dalam imaji yang, tak putus-putus.

Connie hamil dari hubungan gelap itu. Tapi ia tak takut. Dalam diamnya, ia memberontak. Ia menghendaki seorang anak meski sebenarnya ia juga mencintai lelaki kelas bawah yang jadi kekasihnya. Mereka saling mencintai. Itu kata-kata yang selalu mereka bisikkan di tempat tidur. Pada akhirnya Connie meminta cerai dari Sir Clifforrd. Tapi ditolak !! Kisah ini memang dibiarkan menggantung. Connie dan kekasih gelapnya menunggu. Tapi selebihnya memang tak penting. Pesan novel ini jelas, protes sudah disampaikan, bahkan dijalani dengan perbuatan. Bukan salah perempuan, bukan salah percintaan, bukan salah seks. Kesalahan adalah pada kerakusan manusia yang kadang melupakan sisi-sisi kemanusiaan itu sendiri.