Spiritualitas Tukang Becak Jogja
Waton Urip bukan berarti "Asal Hidup", tetapi "Hidup tanpa Memberontak Terhadap Hidup". Itulah kisah tentang kehidupan tukang becak di Jogja. Di tengah keras, miskin, dan penderitaan hidup, ternyata tukang becak jogja mampu mentransedensi kesulitan hidup dan meloloskan diri dari kekejaman dunia. Para tukang becak itu berani hidup tanpa memberontak pada kehidupan. Strateginya adalah memaksimalkan kekuatan-kekuatan unik seperti solidaritas sosial, keberanian, keuletan, integritas, kebaikan hati, pengendalian diri, dan rendah hati. Inilah rupanya yang mampu membuat tukang becak Jogja meloloskan diri dari kekejaman dunia.
Filsafat tukang becak adalah banyu mili. "Rezekinya tukang becak seperti mbanyu mili". Kendati tidak besar, rezeki mereka selalu mengalir. Memang mili sendiri berarti terus mengalir, walau tidak deras, seperti sungai kecil, yang kendati sedikit airnya tiada henti mengalir. Apa yang diberikan hidup, diterima. Apa yang tidak diberikan, jangan diminta.
Hal ini dilihat secara jeli oleh Agus Leonardus melalui jepretan fotonya pada buku Waton Urip. Narasinya dibuat secara menarik oleh Romo Sindhunata. Tukang becak, dalam pendapat Sindhunata, mengajarkan kita untuk menerima apa yang diberikan oleh kehidupan, tapi jangan meminta apa yang tak diberikan oleh kehidupan. Sebuah filosofi sederhana, bukan bermakna pasrah, karena konsep “nrimo” sebenarnya mengandung energi perjuangan bagi orang yang mengerti betul makna dan falsafahnya. Inilah pentingnya kita melakukan transedensi diri, seperti para tukang becak di Jogja. Manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan transedensi. Manusia bisa mengambil jarak ataupun keluar dari dirinya lalu dengan kesadaran melihat dirinya sebagai obyek. Kita bisa melihat diri kita sebagai subyek sekaligus obyek. Kita bisa berdialog dengan diri sendiri. Dengan pengalaman masa lalu. Dengan imaji masa depan. Itulah yang dilakukan para tukang becak di Jogja.
Tapi penyakit orang modern adalah sibuk dan glamor, bergelimang materi, tapi kering spiritual. Mungkin kita perlu melakukan renungan-renungan di ujung hari. Kita perlu belajar dari tukang becak di Jogja. Kita perlu membaca buku ”Waton Urip”. Dan, mungkin inilah juga kenapa saya suka memilih restoran-restoran di gedung tinggi . . . .biar sambil makan bisa melihat dunia dari sisi yang lebih tinggi hehe....
Filsafat tukang becak adalah banyu mili. "Rezekinya tukang becak seperti mbanyu mili". Kendati tidak besar, rezeki mereka selalu mengalir. Memang mili sendiri berarti terus mengalir, walau tidak deras, seperti sungai kecil, yang kendati sedikit airnya tiada henti mengalir. Apa yang diberikan hidup, diterima. Apa yang tidak diberikan, jangan diminta.
Hal ini dilihat secara jeli oleh Agus Leonardus melalui jepretan fotonya pada buku Waton Urip. Narasinya dibuat secara menarik oleh Romo Sindhunata. Tukang becak, dalam pendapat Sindhunata, mengajarkan kita untuk menerima apa yang diberikan oleh kehidupan, tapi jangan meminta apa yang tak diberikan oleh kehidupan. Sebuah filosofi sederhana, bukan bermakna pasrah, karena konsep “nrimo” sebenarnya mengandung energi perjuangan bagi orang yang mengerti betul makna dan falsafahnya. Inilah pentingnya kita melakukan transedensi diri, seperti para tukang becak di Jogja. Manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan transedensi. Manusia bisa mengambil jarak ataupun keluar dari dirinya lalu dengan kesadaran melihat dirinya sebagai obyek. Kita bisa melihat diri kita sebagai subyek sekaligus obyek. Kita bisa berdialog dengan diri sendiri. Dengan pengalaman masa lalu. Dengan imaji masa depan. Itulah yang dilakukan para tukang becak di Jogja.
Tapi penyakit orang modern adalah sibuk dan glamor, bergelimang materi, tapi kering spiritual. Mungkin kita perlu melakukan renungan-renungan di ujung hari. Kita perlu belajar dari tukang becak di Jogja. Kita perlu membaca buku ”Waton Urip”. Dan, mungkin inilah juga kenapa saya suka memilih restoran-restoran di gedung tinggi . . . .biar sambil makan bisa melihat dunia dari sisi yang lebih tinggi hehe....
<< Home