Menjadi "Buddha" di Penghujung Ramadhan
Ramadhan usai sudah. Di penghujung malam, saya tepekur dan memandang sebuah kurun kehidupan yang penuh dengan dinamika. Warna kehidupan yang tak hanya terang, namun juga berisi rona dan bayang kelam. Betapa hidup berlewat begitu saja. Khutbah pak ustadz di tarawih terakhir memukul diri. Ia mengutip Sura Al Takwir [81]: 26. Bunyinya, Fa aina tadzhabun. “Lalu, akan ke mana kamu pergi?” Sebuah pertanyaan yang pedih bila kita tak tahu jawabnya.
Pagi ini, sehabis sahur, saya menyelesaikan halaman terakhir dari novel Deepak Chopra yang berjudul “Buddha”. Sebuah novel yang apik dan menarik. Di novel ini, pertanyaan pak Ustadz di malam hari mengejawantah. Bahwa ujung Ramadhan adalah juga mencapai cara menjadi Buddha. Bahwa perjuangan mencari makna adalah perjuangan menguasai diri sendiri.
Novel ini mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi Buddha. Hal ini karena Buddha adalah jalan kehidupan. Ungkapan itu persis seperti diungkap Heidegger bahwa manusia bukan sekedar untuk ‘Ada’ (To Be) di dunia, melainkan selalu dalam proses meng-Ada (To Becoming) di dunia. Hidup yang becoming berarti hidup yang meng-Ada-nya tak pernah selesai karena hidup itu terus-menerus menjadi inspirasi bagi kehidupan orang lain.
Pagi ini, sehabis sahur, saya menyelesaikan halaman terakhir dari novel Deepak Chopra yang berjudul “Buddha”. Sebuah novel yang apik dan menarik. Di novel ini, pertanyaan pak Ustadz di malam hari mengejawantah. Bahwa ujung Ramadhan adalah juga mencapai cara menjadi Buddha. Bahwa perjuangan mencari makna adalah perjuangan menguasai diri sendiri.
Berapa panjang jalan harus ditempuh seseorang untuk mencapai titik itu? Jawabnya tak pernah sama. Tak ada yang tahu pasti seberapa jauh perjalanan manusia mampu membuat manusia memahami kemanusiaannya. Manusia adalah teka teki yang senantiasa mencari solusi. Manusia tak pernah sama dengan hewan. Ia hanya bisa lebih mulia, atau lebih rendah dari hewan. Perjalanan manusia menemukan kesejatian dirinya inilah yang digambarkan Deepak Chopra dalam novel ’Buddha’. Saat masih bayi, para pendeta meramal takdir dari Siddhartha. Takdir masa depannya adalah “menguasai jiwanya sendiri”. Sang ayah hanya tersenyum. Tapi pendeta berkata, "Kau pikir itu mudah? Menguasai dunia adalah permainan anak-anak. Menguasai jiwamu adalah seperti menguasai semua ciptaan. Hal itu bahkan lebih tinggi dari para dewa".
Siddhartha mengajarkan langkah untuk menguasai jiwa sendiri. Itulah jalan menuju ketenangan. Semua ajaran Siddharta merupakan “jalan tindakan” (kama marga) untuk menuju realisasi sang Ada Absolut (Absolute Being). Itulah jalan menuju yang Illahi. Perjalanan hidup manusia yang fana, tak akan menjadi kesia-siaan jika manusia mampu menemukan suatu titik kemuliaan yang membawanya melampaui kefanaan tersebut. Siddhartha mengajak kita semua melampaui diri kita sebagai manusia.
Ajakan yang sama diserukan berulangkali oleh Yesus dan Rasulullah SAW. Tak heran bila filsuf yang paling atheis sekalipun, seperti Nietzche, menyebut Buddha, Yesus, dan Muhammad, sebagai orang besar. Lewat mereka, kita bisa mengatur dan mengendalikan dorongan duniawi yang fana.
Novel ’Buddha’ mengajak kita melihat kehidupan apa adanya. Siddharta mengajak kita melalukan sebuah perjalanan dari dunia material yang penuh hasrat menuju puncak spiritual tertinggi. Persis seperti saat kita menapaki Candi Borobudur, tingkat terendah adalah nafsu dunia (kamadhatu), kemudian meningkat menjadi nafsu yang membebaskan diri (rupadhatu), dan yang tertinggi adalah alam atas atau nirvana (Arupadhatu). Di sini, yang ada hanyalah kekosongan. Stupa yang kosong, dan dinding tanpa relief. Itulah puncak pengendalian jiwa. Dalam Islam, inilah nafsu muthmainah, hanya ada dalam jiwa-jiwa yang tenang (QS Al Fajr [89]: 27).
Menjadi Buddha adalah sebuah perjalanan panjang. Siddhartha sendiri memulainya sebagai pangeran muda yang dipenjara oleh ayahnya di Istana, agar tidak melihat penderitaan di luar dinding Istana. Saat ia melihat kenyataan hidup yang pedih, pangeran Siddharta memutuskan menjadi pertapa dengan meninggalkan istana berikut gelar pangerannya. Hingga akhirnya, ia berhasil mencapai pencerahan dan menaklukkan hawa nafsu dunia yang menguasai tubuh dan pikirannya.
Perjalanan Buddha bukan hanya menginspirasi umat Buddha, namun juga para filsuf macam Nietzche, Heidegger, Levinas, Marcel, hingga Sartre. Nietzche mengajarkan agar manusia melampaui ke-manusia-annya sendiri. Menjadi uebermensch atau beyond man. Heidegger mengajarkan kita mencari makna “Ada” yang absolut. Manusia bisa menjadi “Das Sein” dan bukan sekedar “Das Man”. Bahwa manusia merenungkan “Ada” nya di dunia bukan sebagai spesies manusia ataupun malah kerumunan hewan. Levinas dalam bukunya “Total and Infinity” mengajarkan tentang “Aku” yang memperluas diri. Kesemuanya adalah menaklukkan hasrat yang mengikat manusia. Melampaui bukan berarti menolak atau melarikan diri, tapi justru dengan menghadapi dan mengendalikan dorongan hasrat serta mengarahkannya pada tujuan mulia.
Novel ini mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi Buddha. Hal ini karena Buddha adalah jalan kehidupan. Ungkapan itu persis seperti diungkap Heidegger bahwa manusia bukan sekedar untuk ‘Ada’ (To Be) di dunia, melainkan selalu dalam proses meng-Ada (To Becoming) di dunia. Hidup yang becoming berarti hidup yang meng-Ada-nya tak pernah selesai karena hidup itu terus-menerus menjadi inspirasi bagi kehidupan orang lain.
Buddha menghadapi kehidupan yang tak mudah. Ia harus melalui penderitaan, siksaan, hingga ancaman. Tapi Buddha berjalan terus mencari pencerahan. Dan keindahan hidup justru terletak pada bagaimana manusia mampu menghadapi itu semua dengan rasa cinta terhadap kehidupan ini. Upaya mencintai kehidupan dan mengendalikan jiwa adalah ajaran para orang besar. Usai menjalani sebuah perang, Muhammad SAW mengatakan, "Jihad yang paling utama adalah engkau perangi dirimu sendiri karena Allah. Orang yang paling hebat bukanlah orang yang dengan mudah membanting atau mengalahkan lawan. Orang kuat adalah orang yang mampu menguasai nafsunya ketika marah”. Selanjutnya, Imam Ali juga mengajarkan, “Ketahuilah bahwa jihad yang paling agung adalah jihad melawan nafsumu. Maka sibukkanlah dengan jihad melawan dirimu, kamu akan memperoleh kebahagiaan”. Ya, kebahagiaan atau eudomonia, adalah tujuan akhir manusia yang menjadi.
Membaca buku Deepak Chopra ini sungguh mencerahkan. Sejak 1987 hingga sekarang, sekurangnya 35 buku telah ditulis oleh Chopra. Setelah menulis novel ’Buddha’, ada dua buku lagi dari Chopra, yaitu The Third Jesus: The Christ We Cannot Ignore (2008) dan Why Is God Laughing? The Path to Joy and Spiritual Optimism (2008). Pandangan Chopra mampu melampaui sekat-sekat yang memisahkan agama satu dengan yang lain. Karya-karya Chopra tersebut layak dibaca oleh pemeluk agama apapun.
Di penghujung Ramadhan ini, saya hanya bisa menyadari, bahwa jalan menuju Buddha masih sangat panjang bagi saya. Di titik ini, benar kata pak Ustadz semalam, bahwa saya masih hidup dalam gelisah dengan roller coaster kehidupan. Yang kadang naik, kadang terbanting, dalam emosi, narcisisme berlebihan, nafsu rendah, godaan dunia, dan amarah. Itulah tahapan terendah dalam kemanusiaan.
Sayapun teringat pesan Paus Benediktus XVI dalam encyclical (section 29), “Man is not a lost atom in the random universe”. Manusia bukanlah atom yang hilang dalam semesta yang random. Atom bergerak random, tapi manusia bergerak mencari makna. Tanpa makna, Paus Benediktus melanjutkan “It just makes us neighbour, but it doesnt make us brother”.
Semoga kita bisa semakin menjadi “manusia”.
Labels: Buddha, Deepak Chopra
<< Home