Nasib Kelam Pimpinan Bank Sentral
Pengadilan terhadap unsur pimpinan bank sentral jarang terjadi di negeri lain. Namun, di Indonesia terjadi dari masa ke masa. Bank Indonesia tak pernah bisa dilepaskan dari lipatan kepentingan demi kepentingan, baik politik maupun ekonomi.
Kisah di balik pengadilan pimpinan Bank Indonesia (BI) yang telah dibukukan ini menarik untuk dibaca. Perubahan rezim Soekarno ke Soeharto, misalnya, membawa korban, yaitu diadilinya Jusuf Muda Dalam. Kemudian, pada perubahan dari rezim Soeharto ke zaman Reformasi terjadi penggantian mendadak terhadap Soedradjad Djiwandono. Selanjutnya, pada zaman Reformasi, korbannya adalah Syahril Sabirin atas kasus Bank Bali. Tidak cukup sampai di sini, terakhir adalah Burhanuddin Abdullah untuk kasus aliran dana BI.
Selain pemimpin nomor satu di bank sentral, hampir semua anggota Dewan Gubernur BI juga ikut diadili. Mereka adalah Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.
Timbul pertanyaan, mengapa BI selalu berada dalam konstelasi politik dan ekonomi yang kisruh? Buku ini mencoba mencari jawabannya. Ditulis oleh mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang merupakan hasil perenungannya selama hampir satu setengah tahun menjalani proses hukum di balik tahanan.
Buku ini menarik karena bukan hanya bercerita mengenai kasus yang menimpa Burhanuddin. Bukan pula semata berisi pembelaan sebagaimana yang biasa ditulis banyak pejabat dari balik tahanan. Namun, buku ini justru berupaya memaknai konstelasi bank sentral di tengah kepentingan ekonomi politik.
Menghadapi badai
Dalam bukunya, Burhanuddin mengakui bahwa tak banyak orang yang paham dengan tugas dan fungsi dari bank sentral. Padahal, peran bank sentral diibaratkan seperti jantung yang memompa darah bagi tubuh manusia. Uang beredar serta jumlah dan fungsinya adalah darah yang pergerakannya diatur oleh bank sentral. Perekonomian akan berjalan secara dinamis dan bugar apabila peredaran uangnya tidak mengalami hambatan (hal 9). Tugas bank sentral dengan demikian sangat strategis dalam menjaga kestabilan perekonomian suatu negara.
Setelah menguraikan peran bank sentral dalam perekonomian pada bab 1 dan bab 2, Burhanuddin kemudian menceritakan kembali kasus aliran dana BI. Dalam menulis, ia melakukan perbandingan dengan beberapa kasus yang pernah terjadi, baik di dalam maupun luar negeri.
Saat krisis ekonomi menimpa, berbagai cara yang biasa digunakan dalam kondisi normal belum tentu dapat bekerja dengan baik. Sebagaimana Burhanuddin menulis, ”Upaya untuk keluar dari badai atau menghindari hantaman karang-karang itu bisa jadi tidak berarti sama sekali kalau orang tidak pernah mau tahu seperti apa badai yang terjadi atau bahkan tidak percaya ada badai. Cara pandang, pikiran, dan ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai segala upaya untuk keluar dari badai adalah untuk situasi dan kondisi yang normal. Tentu keduanya sulit bertemu” (hal 20).
Metafora ini digunakan Burhanuddin Abdullah saat menjelaskan kasus aliran dana BI, termasuk kebijakan BLBI pada masa lampau. Saat krisis tahun 1998, keadaan begitu kacau. Aturan- aturan hukum normal tidak berjalan. Saat itu perlu sebuah keberanian untuk melakukan penyelamatan terhadap ekonomi nasional. Ia menulis, ”Bantuan likuiditas adalah kebijakan yang lumrah pada masa krisis. Dan itu mampu menyelamatkan perekonomian kita untuk tidak rontok lebih jauh. Apabila dalam pelaksanaannya kemudian ada yang disalahgunakan, tentu bukan kebijakannya yang harus dipermasalahkan, tetapi penyalahgunaannya yang harus ditindak secara tegas dan pasti” (hal 21).
Terkait dengan aliran dana BI, hal serupa perlu dipertimbangkan. Saat kebijakan itu diambil pada tahun 2003, ada empat permasalahan utama yang dihadapi perekonomian Indonesia. Pertama, kredibilitas kebijakan Pemerintah dan BI yang rendah karena terlalu bergantung pada IMF. Kedua, kebijakan moneter kurang efektif dengan tingkat inflasi yang tinggi. Ketiga, kondisi perbankan yang belum solid. Dan, keempat, persoalan BLBI yang belum selesai sehingga menyebabkan kebijakan bank sentral tidak efektif.
Selain itu, Bank Indonesia sebagai bank sentral juga tidak dapat bekerja secara optimal karena amandemen Undang-Undang Bank Indonesia terkatung-katung dalam waktu yang lama. Kepentingan politik yang beraneka ragam menyebabkan proses amandemen itu berlarut-larut (hal 95).
Dalam kondisi seperti itu, Burhanuddin menyadari bahwa BI tidak akan mampu bekerja secara optimal. Apalagi untuk menghadapi kondisi ekonomi dan politik yang pada saat itu sedang sulit. Dalam pandangan Burhanuddin, Dewan Gubernur BI telah mengambil langkah strategis dengan itikad baik untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dimaksud, yaitu dengan melakukan langkah-langkah diseminasi kepada stakeholders BI.
Keputusan tersebut terbukti memberikan hasil positif berupa membaiknya kredibilitas BI yang kemudian mampu mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik. Ironisnya, kebijakan itu jugalah yang pada kemudian hari dipermasalahkan sebagai pelanggaran hukum.
Pelajaran berharga
Pada bagian penutup, Burhanuddin mencatat pelajaran yang dapat dipetik dari konstelasi bank sentral dalam kehidupan politik ekonomi nasional. Salah satunya adalah perlunya mengkaji arah bentuk dan sifat hubungan antara BI dengan lembaga pemerintah dan lembaga negara lain. Terutama yang cocok dengan sejarah dan tradisi pengelolaan ekonomi kita. Selain itu, perlu dipikirkan kembali proses rekrutmen anggota Dewan Gubernur BI. Proses saat ini adalah melalui fit and proper test di DPR. Cara ini rawan dengan politik uang serta proses dukung- mendukung berdasarkan partai politik dan kepentingan. Inilah yang kemudian diduga Burhanuddin rawan untuk ”pemerasan” oleh DPR (hal 271).
Membaca buku ini sungguh mengasyikkan karena Burhanuddin menulis dengan gaya bahasa yang ringan. Kalaupun ada kekurangan dari buku ini adalah kesan yang bercampur aduk antara suasana hati, proses hukum yang formal, dan arsip pengadilan yang panjang. Namun, hal itu tidak mengurangi kenikmatan membacanya.
Kasus hukum memang bisa dipandang dari berbagai sudut. Kala benar dan salah menjadi relatif, upaya menceritakan keduanya dari berbagai sudut pandang jadi menarik. Namun, satu pelajaran dari kasus ini adalah sikap berani mengambil risiko saat terjadi krisis demi kepentingan rakyat yang lebih luas. Sebuah sikap yang tak bisa dilakukan setiap orang.
Menarik apa yang disampaikan Emha Ainun Nadjib dalam kata pengantar buku ini, ”Penjara negara tidak lagi bisa diidentikkan dengan kesalahan. Dan kebebasan tidak berarti kebenaran. Yang lebih absolut lagi, penjara negara tidak sama dengan neraka, dan surga tidak pula bisa disamakan dengan sesuatu yang ada di luar penjara”.
Junanto Herdiawan Peneliti Ekonomi; Bekerja di Bank Sentral
Tulisan ini dimuat juga di Harian Kompas, 13 Agustus 2009
Labels: Aliran Dana BI, Burhanuddin Abdullah, Kasus YPPI, Mengadili Dewan Gubernur BI