Ruang Bacaku

“The ink of a scholar is holier than the blood of a martyr. A man reading is handsome in the sight of God. So learn to read. And when you have learned, teach !”. That is the Wisdom of Mohammad. This room is dedicated for those who love to read and teach

My Photo
Name:
Location: Tokyo, Japan

Economist, Philosopher, Food Lover. Lives in Tokyo, Japan.

Friday, September 18, 2009

Nasib Kelam Pimpinan Bank Sentral


Pengadilan terhadap unsur pimpinan bank sentral jarang terjadi di negeri lain. Namun, di Indonesia terjadi dari masa ke masa. Bank Indonesia tak pernah bisa dilepaskan dari lipatan kepentingan demi kepentingan, baik politik maupun ekonomi.

Kisah di balik pengadilan pimpinan Bank Indonesia (BI) yang telah dibukukan ini menarik untuk dibaca. Perubahan rezim Soekarno ke Soeharto, misalnya, membawa korban, yaitu diadilinya Jusuf Muda Dalam. Kemudian, pada perubahan dari rezim Soeharto ke zaman Reformasi terjadi penggantian mendadak terhadap Soedradjad Djiwandono. Selanjutnya, pada zaman Reformasi, korbannya adalah Syahril Sabirin atas kasus Bank Bali. Tidak cukup sampai di sini, terakhir adalah Burhanuddin Abdullah untuk kasus aliran dana BI.
Selain pemimpin nomor satu di bank sentral, hampir semua anggota Dewan Gubernur BI juga ikut diadili. Mereka adalah Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.

Timbul pertanyaan, mengapa BI selalu berada dalam konstelasi politik dan ekonomi yang kisruh? Buku ini mencoba mencari jawabannya. Ditulis oleh mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang merupakan hasil perenungannya selama hampir satu setengah tahun menjalani proses hukum di balik tahanan.

Buku ini menarik karena bukan hanya bercerita mengenai kasus yang menimpa Burhanuddin. Bukan pula semata berisi pembelaan sebagaimana yang biasa ditulis banyak pejabat dari balik tahanan. Namun, buku ini justru berupaya memaknai konstelasi bank sentral di tengah kepentingan ekonomi politik.

Menghadapi badai
Dalam bukunya, Burhanuddin mengakui bahwa tak banyak orang yang paham dengan tugas dan fungsi dari bank sentral. Padahal, peran bank sentral diibaratkan seperti jantung yang memompa darah bagi tubuh manusia. Uang beredar serta jumlah dan fungsinya adalah darah yang pergerakannya diatur oleh bank sentral. Perekonomian akan berjalan secara dinamis dan bugar apabila peredaran uangnya tidak mengalami hambatan (hal 9). Tugas bank sentral dengan demikian sangat strategis dalam menjaga kestabilan perekonomian suatu negara.
Setelah menguraikan peran bank sentral dalam perekonomian pada bab 1 dan bab 2, Burhanuddin kemudian menceritakan kembali kasus aliran dana BI. Dalam menulis, ia melakukan perbandingan dengan beberapa kasus yang pernah terjadi, baik di dalam maupun luar negeri.

Saat krisis ekonomi menimpa, berbagai cara yang biasa digunakan dalam kondisi normal belum tentu dapat bekerja dengan baik. Sebagaimana Burhanuddin menulis, ”Upaya untuk keluar dari badai atau menghindari hantaman karang-karang itu bisa jadi tidak berarti sama sekali kalau orang tidak pernah mau tahu seperti apa badai yang terjadi atau bahkan tidak percaya ada badai. Cara pandang, pikiran, dan ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai segala upaya untuk keluar dari badai adalah untuk situasi dan kondisi yang normal. Tentu keduanya sulit bertemu” (hal 20).

Metafora ini digunakan Burhanuddin Abdullah saat menjelaskan kasus aliran dana BI, termasuk kebijakan BLBI pada masa lampau. Saat krisis tahun 1998, keadaan begitu kacau. Aturan- aturan hukum normal tidak berjalan. Saat itu perlu sebuah keberanian untuk melakukan penyelamatan terhadap ekonomi nasional. Ia menulis, ”Bantuan likuiditas adalah kebijakan yang lumrah pada masa krisis. Dan itu mampu menyelamatkan perekonomian kita untuk tidak rontok lebih jauh. Apabila dalam pelaksanaannya kemudian ada yang disalahgunakan, tentu bukan kebijakannya yang harus dipermasalahkan, tetapi penyalahgunaannya yang harus ditindak secara tegas dan pasti” (hal 21).

Terkait dengan aliran dana BI, hal serupa perlu dipertimbangkan. Saat kebijakan itu diambil pada tahun 2003, ada empat permasalahan utama yang dihadapi perekonomian Indonesia. Pertama, kredibilitas kebijakan Pemerintah dan BI yang rendah karena terlalu bergantung pada IMF. Kedua, kebijakan moneter kurang efektif dengan tingkat inflasi yang tinggi. Ketiga, kondisi perbankan yang belum solid. Dan, keempat, persoalan BLBI yang belum selesai sehingga menyebabkan kebijakan bank sentral tidak efektif.

Selain itu, Bank Indonesia sebagai bank sentral juga tidak dapat bekerja secara optimal karena amandemen Undang-Undang Bank Indonesia terkatung-katung dalam waktu yang lama. Kepentingan politik yang beraneka ragam menyebabkan proses amandemen itu berlarut-larut (hal 95).

Dalam kondisi seperti itu, Burhanuddin menyadari bahwa BI tidak akan mampu bekerja secara optimal. Apalagi untuk menghadapi kondisi ekonomi dan politik yang pada saat itu sedang sulit. Dalam pandangan Burhanuddin, Dewan Gubernur BI telah mengambil langkah strategis dengan itikad baik untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dimaksud, yaitu dengan melakukan langkah-langkah diseminasi kepada stakeholders BI.

Keputusan tersebut terbukti memberikan hasil positif berupa membaiknya kredibilitas BI yang kemudian mampu mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik. Ironisnya, kebijakan itu jugalah yang pada kemudian hari dipermasalahkan sebagai pelanggaran hukum.

Pelajaran berharga
Pada bagian penutup, Burhanuddin mencatat pelajaran yang dapat dipetik dari konstelasi bank sentral dalam kehidupan politik ekonomi nasional. Salah satunya adalah perlunya mengkaji arah bentuk dan sifat hubungan antara BI dengan lembaga pemerintah dan lembaga negara lain. Terutama yang cocok dengan sejarah dan tradisi pengelolaan ekonomi kita. Selain itu, perlu dipikirkan kembali proses rekrutmen anggota Dewan Gubernur BI. Proses saat ini adalah melalui fit and proper test di DPR. Cara ini rawan dengan politik uang serta proses dukung- mendukung berdasarkan partai politik dan kepentingan. Inilah yang kemudian diduga Burhanuddin rawan untuk ”pemerasan” oleh DPR (hal 271).

Membaca buku ini sungguh mengasyikkan karena Burhanuddin menulis dengan gaya bahasa yang ringan. Kalaupun ada kekurangan dari buku ini adalah kesan yang bercampur aduk antara suasana hati, proses hukum yang formal, dan arsip pengadilan yang panjang. Namun, hal itu tidak mengurangi kenikmatan membacanya.

Kasus hukum memang bisa dipandang dari berbagai sudut. Kala benar dan salah menjadi relatif, upaya menceritakan keduanya dari berbagai sudut pandang jadi menarik. Namun, satu pelajaran dari kasus ini adalah sikap berani mengambil risiko saat terjadi krisis demi kepentingan rakyat yang lebih luas. Sebuah sikap yang tak bisa dilakukan setiap orang.
Menarik apa yang disampaikan Emha Ainun Nadjib dalam kata pengantar buku ini, ”Penjara negara tidak lagi bisa diidentikkan dengan kesalahan. Dan kebebasan tidak berarti kebenaran. Yang lebih absolut lagi, penjara negara tidak sama dengan neraka, dan surga tidak pula bisa disamakan dengan sesuatu yang ada di luar penjara”.

Junanto Herdiawan Peneliti Ekonomi; Bekerja di Bank Sentral

Tulisan ini dimuat juga di Harian Kompas, 13 Agustus 2009

Labels: , , ,

Menjadi "Buddha" di Penghujung Ramadhan

Ramadhan usai sudah. Di penghujung malam, saya tepekur dan memandang sebuah kurun kehidupan yang penuh dengan dinamika. Warna kehidupan yang tak hanya terang, namun juga berisi rona dan bayang kelam. Betapa hidup berlewat begitu saja. Khutbah pak ustadz di tarawih terakhir memukul diri. Ia mengutip Sura Al Takwir [81]: 26. Bunyinya, Fa aina tadzhabun. “Lalu, akan ke mana kamu pergi?” Sebuah pertanyaan yang pedih bila kita tak tahu jawabnya.

Pagi ini, sehabis sahur, saya menyelesaikan halaman terakhir dari novel Deepak Chopra yang berjudul “Buddha”. Sebuah novel yang apik dan menarik. Di novel ini, pertanyaan pak Ustadz di malam hari mengejawantah. Bahwa ujung Ramadhan adalah juga mencapai cara menjadi Buddha. Bahwa perjuangan mencari makna adalah perjuangan menguasai diri sendiri.

Berapa panjang jalan harus ditempuh seseorang untuk mencapai titik itu? Jawabnya tak pernah sama. Tak ada yang tahu pasti seberapa jauh perjalanan manusia mampu membuat manusia memahami kemanusiaannya. Manusia adalah teka teki yang senantiasa mencari solusi. Manusia tak pernah sama dengan hewan. Ia hanya bisa lebih mulia, atau lebih rendah dari hewan. Perjalanan manusia menemukan kesejatian dirinya inilah yang digambarkan Deepak Chopra dalam novel ’Buddha’. Saat masih bayi, para pendeta meramal takdir dari Siddhartha. Takdir masa depannya adalah “menguasai jiwanya sendiri”. Sang ayah hanya tersenyum. Tapi pendeta berkata, "Kau pikir itu mudah? Menguasai dunia adalah permainan anak-anak. Menguasai jiwamu adalah seperti menguasai semua ciptaan. Hal itu bahkan lebih tinggi dari para dewa".

Siddhartha mengajarkan langkah untuk menguasai jiwa sendiri. Itulah jalan menuju ketenangan. Semua ajaran Siddharta merupakan “jalan tindakan” (kama marga) untuk menuju realisasi sang Ada Absolut (Absolute Being). Itulah jalan menuju yang Illahi. Perjalanan hidup manusia yang fana, tak akan menjadi kesia-siaan jika manusia mampu menemukan suatu titik kemuliaan yang membawanya melampaui kefanaan tersebut. Siddhartha mengajak kita semua melampaui diri kita sebagai manusia.

Ajakan yang sama diserukan berulangkali oleh Yesus dan Rasulullah SAW. Tak heran bila filsuf yang paling atheis sekalipun, seperti Nietzche, menyebut Buddha, Yesus, dan Muhammad, sebagai orang besar. Lewat mereka, kita bisa mengatur dan mengendalikan dorongan duniawi yang fana.

Novel ’Buddha’ mengajak kita melihat kehidupan apa adanya. Siddharta mengajak kita melalukan sebuah perjalanan dari dunia material yang penuh hasrat menuju puncak spiritual tertinggi. Persis seperti saat kita menapaki Candi Borobudur, tingkat terendah adalah nafsu dunia (kamadhatu), kemudian meningkat menjadi nafsu yang membebaskan diri (rupadhatu), dan yang tertinggi adalah alam atas atau nirvana (Arupadhatu). Di sini, yang ada hanyalah kekosongan. Stupa yang kosong, dan dinding tanpa relief. Itulah puncak pengendalian jiwa. Dalam Islam, inilah nafsu muthmainah, hanya ada dalam jiwa-jiwa yang tenang (QS Al Fajr [89]: 27).

Menjadi Buddha adalah sebuah perjalanan panjang. Siddhartha sendiri memulainya sebagai pangeran muda yang dipenjara oleh ayahnya di Istana, agar tidak melihat penderitaan di luar dinding Istana. Saat ia melihat kenyataan hidup yang pedih, pangeran Siddharta memutuskan menjadi pertapa dengan meninggalkan istana berikut gelar pangerannya. Hingga akhirnya, ia berhasil mencapai pencerahan dan menaklukkan hawa nafsu dunia yang menguasai tubuh dan pikirannya.

Perjalanan Buddha bukan hanya menginspirasi umat Buddha, namun juga para filsuf macam Nietzche, Heidegger, Levinas, Marcel, hingga Sartre. Nietzche mengajarkan agar manusia melampaui ke-manusia-annya sendiri. Menjadi uebermensch atau beyond man. Heidegger mengajarkan kita mencari makna “Ada” yang absolut. Manusia bisa menjadi “Das Sein” dan bukan sekedar “Das Man”. Bahwa manusia merenungkan “Ada” nya di dunia bukan sebagai spesies manusia ataupun malah kerumunan hewan. Levinas dalam bukunya “Total and Infinity” mengajarkan tentang “Aku” yang memperluas diri. Kesemuanya adalah menaklukkan hasrat yang mengikat manusia. Melampaui bukan berarti menolak atau melarikan diri, tapi justru dengan menghadapi dan mengendalikan dorongan hasrat serta mengarahkannya pada tujuan mulia.

Novel ini mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi Buddha. Hal ini karena Buddha adalah jalan kehidupan. Ungkapan itu persis seperti diungkap Heidegger bahwa manusia bukan sekedar untuk ‘Ada’ (To Be) di dunia, melainkan selalu dalam proses meng-Ada (To Becoming) di dunia. Hidup yang becoming berarti hidup yang meng-Ada-nya tak pernah selesai karena hidup itu terus-menerus menjadi inspirasi bagi kehidupan orang lain.

Buddha menghadapi kehidupan yang tak mudah. Ia harus melalui penderitaan, siksaan, hingga ancaman. Tapi Buddha berjalan terus mencari pencerahan. Dan keindahan hidup justru terletak pada bagaimana manusia mampu menghadapi itu semua dengan rasa cinta terhadap kehidupan ini. Upaya mencintai kehidupan dan mengendalikan jiwa adalah ajaran para orang besar. Usai menjalani sebuah perang, Muhammad SAW mengatakan, "Jihad yang paling utama adalah engkau perangi dirimu sendiri karena Allah. Orang yang paling hebat bukanlah orang yang dengan mudah membanting atau mengalahkan lawan. Orang kuat adalah orang yang mampu menguasai nafsunya ketika marah”. Selanjutnya, Imam Ali juga mengajarkan, “Ketahuilah bahwa jihad yang paling agung adalah jihad melawan nafsumu. Maka sibukkanlah dengan jihad melawan dirimu, kamu akan memperoleh kebahagiaan”. Ya, kebahagiaan atau eudomonia, adalah tujuan akhir manusia yang menjadi.

Membaca buku Deepak Chopra ini sungguh mencerahkan. Sejak 1987 hingga sekarang, sekurangnya 35 buku telah ditulis oleh Chopra. Setelah menulis novel ’Buddha’, ada dua buku lagi dari Chopra, yaitu The Third Jesus: The Christ We Cannot Ignore (2008) dan Why Is God Laughing? The Path to Joy and Spiritual Optimism (2008). Pandangan Chopra mampu melampaui sekat-sekat yang memisahkan agama satu dengan yang lain. Karya-karya Chopra tersebut layak dibaca oleh pemeluk agama apapun.

Di penghujung Ramadhan ini, saya hanya bisa menyadari, bahwa jalan menuju Buddha masih sangat panjang bagi saya. Di titik ini, benar kata pak Ustadz semalam, bahwa saya masih hidup dalam gelisah dengan roller coaster kehidupan. Yang kadang naik, kadang terbanting, dalam emosi, narcisisme berlebihan, nafsu rendah, godaan dunia, dan amarah. Itulah tahapan terendah dalam kemanusiaan.

Sayapun teringat pesan Paus Benediktus XVI dalam encyclical (section 29), “Man is not a lost atom in the random universe”. Manusia bukanlah atom yang hilang dalam semesta yang random. Atom bergerak random, tapi manusia bergerak mencari makna. Tanpa makna, Paus Benediktus melanjutkan “It just makes us neighbour, but it doesnt make us brother”.

Semoga kita bisa semakin menjadi “manusia”.

Labels: ,

Tuesday, October 17, 2006

Mencintai Che

Kita mungkin mengenal nama-nama Gubernur Bank Sentral semacam Alan Greenspan, Paul Volcker, Eddy George, Mervyn King, ataupun Jean Claude Trichet. Tapi mungkin tak banyak yang tahu bahwa Che Guevara adalah juga seorang Gubernur Bank Sentral. Ya, ia adalah Gubernur pertama Bank Sentral Kuba (Banco Nacional De Cuba) sejak Fidel Castro berkuasa di tahun 1959. Uang kertas pertama yang dikeluarkan Bank Sentral Kuba, ia yang menandatanganinya, “Che”, begitu tertulis di sana.

Ernesto Che Guavara, yang juga biasa disebut El Comandante Guevara, adalah sosok yang penuh kisah. Pemberontakan, perang, darah, kematian, penyakit, pengkhianatan, kelaparan (ia bahkan pernah makan kucing panggang), adalah perjalanan hidupnya. Termasuk pula di dalamnya, kisah romantismenya. Ana Menendez, penulis kelahiran Kuba, menuliskan penggalan kisah romantis Che dalam novelnya yang pertama, Loving Che. Menendez mencoba membawakan kembali spirit Guevara dan jiwa revolusi ke dalam sebuah novel yang diwarnai oleh kerinduan, kehilangan, dan cinta yang digerakkan oleh nafsu membara.

Kisah buku ini bercerita tentang seorang anak yang mencari identitas sejarahnya. Ditinggalkan oleh ibunya, ia dibesarkan oleh sang kakek di Amerika. Ketika ia berangkat dewasa, ia berjuang untuk mencari tahu siapa orang tuanya dan darimana ia berasal. Pencariannya membawa ia pada masa-masa awal Revolusi Kuba. Menendez, menggambarkan secara baik keadaan di Kuba saat-saat revolusi. Ia mengajak kita menjelajahi lanskap kota Havana yang lengkap dengan arsitektur dan udaranya yang berhembus panas ataupun udara hujan yang menggigil. Pembaca seolah diajak merasakan lika-liku kota Havana dengan mata kepala sendiri.

Pada ujungnya, pencarian sampai pada sebuah kisah bahwa sang ibu adalah kekasih gelap Che Guavara. Mereka berdua menjalin cinta terlarang. Che telah beristri dan Teresa, sang ibu, telah bersuami. Hubungan mereka berbuah pada kehamilan sang ibu. Detil romantisme percintaan mereka digambarkan dengan sangat menarik oleh Ana Menendez. Metafora ungkapan sebuah ciuman dan hubungan persetubuhan dialirkan secara puitis.

"A kiss. The first parting of flesh. Everything that comes later is sweet elaboration. The first kiss is more intimate than the naked bed; its small perimeter already contains the first submission and the final betrayal." atau hubungan yang hangat di suatu malam “…..His body before me, freckled and soft, his skin tacky to the touch with dried sweat. Slowly, I follow his movement. We watch one another. His breathing changes. He closes his eyes. When he speaks again, it is with a voice that comes from worlds away…”

Sayangnya, buku ini hanya menceritakan figur Che Guavara secara potongan yang tidak lengkap. Bagi para penggemar Che, buku ini bisa mengecewakan. Tapi bagi penggemar aliran romantisme, buku ini termasuk buku yang ringan dan enak dibaca di waktu luang. Setidaknya buku ini memberikan kita pelajaran bahwa Che adalah orang yang yakin bahwa pengalaman kerasnya, dalam rimba dan perjuangan, merupakan proses untuk ”lulus sebagai manusia”.

Amy Tan dan sumirnya kebenaran

Buat para penggemar novelnya Amy Tan, bakal kaget deh kalau membaca novel barunya yang berjudul “Saving Fish from Drowning”. Novel terdahulu, The Joy Luck Club (sempet dibikin film layar lebar), The Kitchen God's Wife, The Hundred Secret Senses dan The Bonesetter's Daughter — menjadi best sellers dan memfokuskan cerita pada hubungan anak perempuan dan ibunya, serta berlatar belakang China Amerika. Tapi di novel ini, beda banget. Amy Tan justru bercerita tentang dunia politik. Dan latar belakangnya niy, bukan China atau Amerika. Tapi ia membawa kita ke Myanmar.

Kisah dalam buku ini dinarasikan oleh Bibi Chen, seorang pemandu wisata yang tewas dibunuh sebelum membawa serombongan serombongan turis Amerika untuk berwisata di Myanmar. Ia seolah bercerita dari alam kuburnya. Rombongan turis Amerika itu tetap melakukan perjalanan tanpa Bibi Chen. Mereka diculik di tengah jalan oleh suku pedalaman. Suku tersebut beranggapan bahwa seorang anak dari turis Amerika yang berusia 15 tahun adalah titisan dewa yang akan menyelamatkan mereka dari junta militer Myanmar. Meski diculik, para turis itu diperlakukan secara baik oleh para penculiknya. Mereka bahkan tidak tahu kalau sedang diculik. Mereka hanya diberitahu kalau jembatan di depan sedang roboh. Kisah selanjutnya bergeser pada berita media internasional yang memberitakan hilangnya turis tersebut. Junta militer Myanmarpun ditekan oleh dunia internasional untuk menyelamatkan turis Amerika. Junta itu menggunakan kasus ini sebagai alat untuk mencari keuntungan politik. Akhir novel ini dibiarkan mengambang. Kita dihadapkan pada pilihan terbuka, siapa yang benar, siapa yang salah, kita menilai sendiri.

Saving Fish from Drowning diambil dari kisah seorang bijak yang bercerita kepada muridnya, “Adalah sebuah kejahatan untuk merenggut kehidupan dan merupakan kehormatan untuk menyelamatkan kehidupan. Oleh karenanya, setiap hari saya berikrar untuk menyelamatkan ratusan nyawa. Saya melempar jala ke danau dan mendapatkan ratusan kehidupan. Saya letakkan ikan-ikan itu di pinggir danau, mereka melompat dan menggelepar. Saya katakan, jangan takut, saya menyelamatkan kalian agar tidak tenggelam di danau. Tak lama kemudian, ikan-ikan itu mulai tenang dan diam. Sayangnya, aku selalu terlambat menyelamatkan mereka. Ikan-ikan itupun mati. Dan karena juga merupakan kejahatan untuk menyia-nyiakan sesuatu, saya bawa ikan-ikan itu ke pasar dan saya jual dengan harga yang baik. Dengan uang yang saya dapatkan, saya membeli lagi lebih banyak jala sehingga saya bisa menyelamatkan banyak ikan.”

Kisah itu menggambarkan bahwa pada satu titik kebenaran adalah sebuah ironi. Tergantung bagaimana kita melihatnya. Demikian pula kita dalam melihat kehidupan dan tingkah laku kita sendiri. Kita pandai membenarkan segala laku kita, menjustifikasi perbuatan kita karena kita dikaruniai otak. Kita mengenal tiga jenis kebenaran. Kebenaran diri sendiri, kebenaran orang banyak, dan kebenaran hakiki. Dimana ‘kebenaran’ kita berada? Hanya kita sendiri yang bisa menjawab. Itulah salah satu moral cerita dari novel Amy Tan.

Pi dan Semangat yang Tak Pernah Redup

Buku ini meraih The Man Booker Prize pada tahun 2002 dan menjadi bestseller internasional. Dibicarakan dimana-mana. Sayapun akhirnya tertarik juga untuk membaca. Ternyata memang betul, buku yang didasari kisah nyata ini adalah sebuah karya sastra yang indah dan dituturkan dengan cara yang sangat baik oleh Yann Martel. Kisahnya menyentuh sisi religiositas, agama, dan Ketuhanan.

21 Juni 1977, Piscine Molitor Patel, yang biasa dipanggil Pi, terkatung-katung di Samudra Pasifik selama 227 hari (lebih dari 7 bulan) dalam sebuah sekoci bersama seekor harimau royal bengal seberat 225 kg, seekor hyena, seekor orang utan Kalimantan, dan seekor Zebra. Waktu itu, Pi Patel berusia 16 tahun. Dia bersama keluarganya sedang dalam pelayaran pindah dari India ke Kanada. Kapalnya tenggelam dan hanya Pi yang selamat dalam sebuah sekoci. Pi menghadapi situasi yang buruk. Ia harus mempertahankan hidupnya di dalam sekoci itu. Hukum saling memangsa berlaku. Pi di pintu maut, antara diterkam harimau, hyena, atau tenggelam dimakan hiu. Di situlah taruhannya. Pi diuji keyakinannya akan Tuhan. Dalam keadaan serba sempurna, kita gampang saja bicara tentang Tuhan. Tapi dalam keadaan penuh kemalangan dan doa-doa yang tak terjawab, Tuhan menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Tuhan menjadi begitu jauh dan tak terjangkau. Di situlah kadang kita diombang-ambingkan dalam kepercayaan pada Tuhan. Pi dihadapkan pada masalah itu. Tapi Religiositasnya mampu mengalahkan keraguannya.

Pi serasa dicabut dari kehidupannya yang serba indah, ia adalah anak terpelajar dari keluarga terpandang di India. Tak pernah terbayangkan ia harus melalui penderitaan seberat ini. Tapi ia mampu menerima berbagai cobaan yang tak sesuai dengan harapannya. Ia berkata, “Ternyata segala sesuatunya tidak berjalan sesuai harapan, tapi apa yang bisa kita lakukan? Kita mesti menerima apa-apa yang diberikan kehidupan ini pada kita, dan berusaha menjalaninya sebaik mungkin.” (hal 142). Kepasrahan dan keikhlasan menerima apa yang diberikan kehidupan itu yang membuat Pi dapat bertahan. Saat ia berada pada titik terendah keputusasaannya, ia berkata ”Aku hendak menyerah. Aku pasti sudah menyerah kalau bukan keyakinanku bahwa Tuhan besertaku. Ada orang yang menyerah pasrah begitu saya. Ada orang yang masih berjuang sedikit, lalu putus asa. Tapi ada pula orang-orang yang – aku salah satunya – tak pernah menyerah. Kami terus berjuang, terus dan terus berjuang.”(hal 216).

Sungguh sebuah cerita yang dituturkan secara memesona. Studi zoologinya kaya dan sisi humornya tak terduga. Ceritanya tentang agama dan Tuhan juga menarik. Pi mempraktekkan tiga ajaran agama sekaligus, Hindu, Kristen, dan Islam. Kalau Tuhan yang menciptakan agama, kenapa kita tak boleh mengambil semua jalannya? Begitu pikir Pi. Buku ini membawa pesan yang dalam dan menyentuh bagi kita yang selama ini terjebak dalam ritual-ritual agama tanpa pernah bertanya, bagaimana sebenarnya agama dapat menciptakan perdamaian di dunia. Kepercayaan pada Tuhan harus diiringi oleh kerja keras, terus berjuang, dan pada ujungnya menebarkan cinta kasih pada sesama.... nice to read.

Kompleksitas Putri Pawang Hujan

Guna mengenang ditutupnya toko buku QB, saya ulas sedikit buku karya Richard Oh, the rainmaker’s daughter, yang saya beli pertengahan tahun lalu. Buku ini sungguh indah dan narasinya sangat penuh warna. Namun ceritanya kompleks. Bagi penggemar prosa, puisi, dan keindahan, akan menemukan buku ini menarik, bahkan sangat menarik. Buku ini bercerita tentang perempuan misterius berinisial K, yang berusaha melarikan diri dari masa lalunya di tempat kelahirannya di pedalaman Kalimantan. Ia melarikan diri ke ibukota. Pada akhirnya ia tak mampu melawan tarikan masa lalu yang membawanya kembali ke pulau tempat tragedi hidupnya dimulai dan diakhiri. The start of each day means for you another day to remember. For me, it's another day to forget" (hlm. 97), demikian ucap K kepada Hadrian, tokoh sentral dalam novel ini.

Hadrian adalah seorang pengacara mapan yang kehidupan sehari-harinya identik dengan pesta ke pesta, bar ke bar, dan klien ke klien. Semuanya mulai dirasakan monoton serta membosankan. Kehadiran K - lah yang merubah irama hidupnya. K mampu membawa Hadrian keluar dari rutinitas dan menjelajahi kehidupan dan kedalaman jiwa manusia yang tak terduga. Mereka berdua menjalin sebuah hubungan yang kompleks. Hadrian akhirnya selamat dari jeratan kehidupannya yang membosankan. Ia tak lagi melawan, ia tak lagi bertempur dengan masa lalunya karena masa lalu dan masa kini telah menyatu, bahkan menggandeng masa depannya. Pertemuan dengan K telah membuka kesadarannya. Hadrian telah lahir kembali. Sayangnya, K tak hadir untuk menyaksikannya. Peranan K sebagai tokoh selesai ketika "misinya" untuk membantu Hadrian keluar dari kesempitan hidupnya usai. Itulah misi K dalam hidupnya. K akhirnya harus kembali menjemput kematiannya di Kalimantan. Ia lelah berlari. Ia ingin kembali. "I'm tired of running. There's no corner of this world where I can hide from your memory. I'm back... I'm coming home to you" (hlm. 196).

Buku ini ditulis dengan sangat menarik, menceritakan secara bagus dan detail tentang tradisi, budaya, dan kehidupan masyarakat di Kalimantan. Cocok dibaca bila anda menginginkan novel yang menantang dan kompleks

Wednesday, September 13, 2006

Makna Sebuah Keberanian

Apakah arti sebuah keberanian? keberanian bukan ketiadaan akan rasa takut. Keberanian adalah kemampuan untuk merasakan bahwa ada hal yang lebih penting dari rasa takut itu sendiri. Itulah makna yang disampaikan John F. Kennedy dalam bukunya Profiles in Courage. Memang buku ini termasuk buku klasik. Saya mendapatkannya saat closing down QB book store beberapa waktu lalu (satu hal yang menyedihkan bagi kehidupan saya). Membaca kembali buku ini di tengah suasana kebangsaan seperti saat ini, sungguh tepat dan mengena.

Buku, yang memenangkan hadiah Pulitzer pada tahun 1957 ini, penting dibaca bagi kita yang peduli akan nilai-nilai moral. Buku ini bercerita tentang delapan senator yang secara berani mengambil keputusan yang dianggapnya benar secara moral. John Quincy Adams, Daniel Webster, Thomas Hart Benton, Sam Houston, Edmind G. Ross, Lucius Lamar, George Norris, dan Robert Taft, adalah mereka yang dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dalam kehidupan mereka sebagai senator. Keputusan yang "benar" menurut nurani mereka itu sangat tidak populer di mata para konstituennya dan dapat berdampak pada karir mereka sebagai politisi. Di sinilah terjadi pergumulan batin yang menarik. Haruskah aku mengikuti kata hati yang cenderung pada kebenaran, atau sebaliknya mengikuti apa yang diinginkan mereka, asal karirku tetap aman dan kehidupanku tak terganggu. Tokoh-tokoh dalam buku ini menunjukkan bahwa menuruti kata hati adalah pilihan yang berat. Kennedy secara nyata menunjukkan kekagumannya dengan para senator tersebut, bukan karena kesuksesannya, tetapi pada harga yang mereka bayar karena memilih untuk mengikuti kata hati. Ia menunjukkan bahwa manusia, meski tak sepenuhnya sempurna, sisi-sisinya masih memiliki kekuatan moral. Kekuatan moral dari orang-orang inilah yang telah membentuk sejarah Amerika. Keteguhan moral di atas kenikmatan pribadi, telah membentuk Amerika menjadi bangsa yang besar. Bagian yang paling menarik dari buku ini adalah kisah-kisahnya yang ditulis seperti novel thriller. Penuh kejutan dan menegangkan.

Buku ini layak dibaca oleh para politisi di negeri ini. Bahwa memperjuangkan kebenaran kadang memerlukan pengorbanan dan langkah yang tidak populer. Siapkah kita untuk itu? nampaknya masih berat untuk mengatakannya. Karena kita selalu mampu menjustifikasi perilaku kita dengan kebenaran yang kita yakini sendiri. Benar diri sendiri, benar menurut orang banyak. Kita pun terjauh dan semakin jauh dari kebenaran sejati... apabila memang itu ada.

Wednesday, May 24, 2006

Kasih Sayang dan Pengkhianatan

Sebuah novel yang menyentuh perasaan. Kisahnya filmis dan mengharukan. Tak heran bila Publisher Weekly International menempatkan novel ini sebagai novel terlaris sepanjang 2005. The Kite Runner berkisah tentang persahabatan dua bocah yang hidupnya direkatkan, juga dirontokkan, oleh sebuah permainan: layang-layang. The Kite Runner adalah sebuah kisah yang memiliki kekuatan tentang keluarga, kasih sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Settingnya adalah Afghanistan sebelum pendudukan Rusia. Amir,penganut Islam Sunni, berdarah Pashtun, kelompok paling dominan di Afganistan. Ia anak terdidik dan mempelajari sastra serta peradaban bangsa-bangsa. Ayahnya seorang saudagar berpengaruh di kota Kabul dan pemilik Mustang hitam yang juga dikendarai oleh bintang film Hollywood pada saat itu. Sementara sahabatnya, Hassan, berdarah Hazara, penganut Islam Syiah, pariah dalam strata sosial masyarakat Afghan. Hassan ringkih, buta huruf, sumbing, dan hanya tahu kisah epik abad ke-10 tentang pahlawan-pahlawan Persia Kuno, Shahnamah. Hassan adalah putra dari Ali, pembantu setia ayah Amir. Meski hubungan mereka seperti majikan-budak, Amir dan Hassan sangat karib. Dengan suka cita mereka menoreh batang-batang pohon di ibu kota dengan tulisan bombastis: Amir dan Hassan, Sultan-sultan Kabul. Satu-satunya persamaan: keduanya tak pernah mengalami sentuhan kasih ibu kandung sejak pertama melihat dunia.

Khaled Hosseini, sang pengarang, secara cantik menghadirkan sisi-sisi lain dari negeri Afghanistan, negeri indah yang hingga kini masih menyimpan duka. Tetapi, bahkan kepedihan selalu menyimpan kebahagiaan. Di tengah belantara puing di kota Kabul. Keduanya direkatkan oleh sebuah permainan yang terkenal, layang-layang. Di sinilah momen penting dalam persahabatan itu muncul. Usai pertandingan layang-layang, Amir menyaksikan sesuatu terjadi pada sahabatnya, Hassan. Anak-anak tanggung suku Pashtun menyiksanya, dan ingin merampas layang-layang milik Amir yang dipegang Hassan. Dan bukan hanya menyiksa, mereka men-"sodomi" Hassan. Melihat itu, Amir hanya diam bersembunyi di kejauhan. Hassan, dilain sisi, membela majikannya, tak mau menyerahkan layang-layang demi majikannya, walau kemudian ia harus mengalami penyiksaan yang pedih.

Keduanya “mati” secara bersamaan--pada hari mereka menang festival layang-layang di kota itu. Amir roboh secara psikologis setelah menyadari dirinya tak lebih dari seorang pengecut yang menjijikkan. Hassan, dilain sisi, luruh secara eksistensial, seraya membiarkan dirinya bak potongan karpet yang rela diinjak setiap orang. Semua terjadi saat umur mereka belum lagi 13 tahun.

"Aku memiliki satu kesempatan terakhir untuk mengambil keputusan,
untuk menentukan apa jadinya diriku.

Aku bisa melangkah memasuki gang itu,
membela Hassan dan menerima apa pun yang mungkin menimpaku.

Atau aku bisa melarikan diri.
Akhirnya......aku melarikan diri."


Setting cerita kemudian bergerak pada saat Rusia menginvasi Afghanistan, keadaan kacau balau. Amir dan ayahnya mencari suaka politik ke Amerika. Iapun terpisah dengan Hassan, yang tak tahu entah dimana. Cerita bergerak cepat sampai Amir menginjak usia 38. Ia menikah dengan dambaan hatinya, seorang gadis Afghanistan pelarian juga, bernama Soraya. Tapi, di usianya yang ke-38, Amir mendapati bahwa seluruh kehidupannya dibangun di atas tumpukan dusta dan dosa-dosa masa lalu. Tetapi, duka masa silam yang telah terkubur dalam-dalam pun senantiasa menyeruak kembali. Hadir membawa luka-luka lama. Dan seperti layang-layang, tak kuasa menahan badai, Amir harus menghadapi kenangannya yang mewujud kembali.

Menjelang sepertiga akhir novel, kita dibawa kembali ke dalam situasi berbahaya di Afghanistan. Tak ada opsi lain yang bisa diambil Amir selain masuk ke negeri itu untuk menuntaskan utang masa lalunya. Buku ini menarik, karena ia tak berpretensi menjadikan sang tokoh sebagai protagonis murni yang berani menghadapi segala tantangan. Bahwa manusia memiliki sisi gelap manusia: pada saat-saat tertentu ia dapat menjadi pengecut, atau menghindari tanggung jawab. Tapi pesannya adalah, samapi seberapa lama kita bisa hidup dengan kepengecutan dan pelarian dari tanggung jawab tersebut. Ia akan terus menhantui hidup kita. Selamanya.

Monday, May 22, 2006

Cinta, Kesabaran, dan Kegigihan

"Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?" tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu. "Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada." demikian selintas percakapan antara sang Alkemis dan Santiago, anak gembala yang mengikuti suara hatinya dan berkelana mengejar mimpinya.

Sang Alkemis, buku karya Paul Coelho ini adalah salah satu buku yang paling banyak dibaca di dunia. Kisahnya sederhana tapi maknanya sangat dalam dan indah. Kisah yang mampu menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. Its a must read book.

Kisah ini dimulai dari mimpi Santiago, si anak laki-lagi yang menjadi gembala domba di daerah Andalusia. Santiago bermimpi akan harta karun. Menurut seorang pintar, ia diminta mengikuti suara hatinya, mengejar dimana harta itu berada. Santiago sudah hidup dalam zona kenyamanan. Ia telah memiliki segalanya, domba yang banyak, hidup yang menyenangkan, cita-cita yang tercapai. Kalau ia mengorbankan apa yang ia punya, belum tentu ia mendapatkan yang lebih baik. Tapi suara hatinya begitu kuat. Ia menjual seluruh dombanya dan mulailah mengembara mengikuti suara hati. Pengalaman selama mengembara ternyata mengubah pandangan Santiago terhadap hidup. Ia sempat kecurian, uangnya habis, bekerja di pabrik kristal, bertemu orang Inggris, dan sang Alkemis.

Diantara berbagai kegelisahan dan kebimbangannya, Santiago selalu yakin bahwa setiap hari adalah untuk dijalani, atau untuk menandai kepulangan kita dari dunia ini. Segalanya bergantung pada satu kata: Maktub. Telah dituliskan. Dalam sebuah keputusasaan, sang Alkemis berkata," Kalau seseorang bersungguh-sungguh menginginkan sesuatu, seisi jagat raya bahu membahu membantu orang itu mewujudkan impiannya." Inilah akar kegigihan dari Santiago dalam mengarungi perjalanannya. Cinta, kesabaran, dan kegigihan. Itulah sifat-sifat dasar yang dimiliki Santiago. Dengan itu, ia dapat mencapai cita-cita hidupnya.

Pak Tua yang Tak Mudah Menyerah

Ini salah satu buku tipis favorit saya. Sebuah kisah sederhana yang digambarkan oleh Ernest Hemingway dengan sangat baik. The Old Man and The Sea (Si Tua dan Laut). Buku ini berkisah tentang seorang nelayan tua dari Kuba dan perjuangan besarnya: sebuah perjuangan dalam menangkap ikan marlin besar di Gulf Stream. Hari demi hari, bulan demi bulan, dilalui pak tua menantang ombak dan badai mencari ikan marlin besar. Keberanian pak tua dalam perjuangan mengalahkan ikan marlin yang besar digambarkan Hemingway sebagai sebuah tema abadi tentang keberanian dalam menghadapi kekalahan dan kemenangan. Sungguh menarik bagaimana Hemingway menceritakannya. Setelah melalui perjuangan panjang, nelayan tersebut akhirnya berhasil menangkap ikan marlin yang besar.

Namun dalam perjalanan pulang, ia diserang oleh ikan hiu. Ia melawan dan memberontak. Ikan hiu itupun mencaplok dan menggerogoti daging marlin hasil tangkapannya. Akhirnya nelayan itu hanya bisa pulang membawa tulang belulang ikan marlin. Tapi pak tua tidak sedih. Ia tetap dapat bangga kembali ke rumahnya. Bukan hasil yang ia cari. Tapi perjuangan, kebulatan tekad, dan semangat pantang menyerah, itulah yang ia tunjukkan. Kisah ini sungguh menginspirasi kita semua dalam bekerja. Kadang kita kerap terlalu fokus pada hasil. Bahkan kita ingin mencari jalan pintas menuju hasil. Kerja keras, pasang surut, kekalahan, adalah hal-hal yang kita kurang sukai. Padahal itu adalah jalan hakiki dalam memaknai arti sebuah kerja, dan tentu, kehidupan itu sendiri.

Spiritualitas Tukang Becak Jogja

Waton Urip bukan berarti "Asal Hidup", tetapi "Hidup tanpa Memberontak Terhadap Hidup". Itulah kisah tentang kehidupan tukang becak di Jogja. Di tengah keras, miskin, dan penderitaan hidup, ternyata tukang becak jogja mampu mentransedensi kesulitan hidup dan meloloskan diri dari kekejaman dunia. Para tukang becak itu berani hidup tanpa memberontak pada kehidupan. Strateginya adalah memaksimalkan kekuatan-kekuatan unik seperti solidaritas sosial, keberanian, keuletan, integritas, kebaikan hati, pengendalian diri, dan rendah hati. Inilah rupanya yang mampu membuat tukang becak Jogja meloloskan diri dari kekejaman dunia.

Filsafat tukang becak adalah banyu mili. "Rezekinya tukang becak seperti mbanyu mili". Kendati tidak besar, rezeki mereka selalu mengalir. Memang mili sendiri berarti terus mengalir, walau tidak deras, seperti sungai kecil, yang kendati sedikit airnya tiada henti mengalir. Apa yang diberikan hidup, diterima. Apa yang tidak diberikan, jangan diminta.

Hal ini dilihat secara jeli oleh Agus Leonardus melalui jepretan fotonya pada buku Waton Urip. Narasinya dibuat secara menarik oleh Romo Sindhunata. Tukang becak, dalam pendapat Sindhunata, mengajarkan kita untuk menerima apa yang diberikan oleh kehidupan, tapi jangan meminta apa yang tak diberikan oleh kehidupan. Sebuah filosofi sederhana, bukan bermakna pasrah, karena konsep “nrimo” sebenarnya mengandung energi perjuangan bagi orang yang mengerti betul makna dan falsafahnya. Inilah pentingnya kita melakukan transedensi diri, seperti para tukang becak di Jogja. Manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan transedensi. Manusia bisa mengambil jarak ataupun keluar dari dirinya lalu dengan kesadaran melihat dirinya sebagai obyek. Kita bisa melihat diri kita sebagai subyek sekaligus obyek. Kita bisa berdialog dengan diri sendiri. Dengan pengalaman masa lalu. Dengan imaji masa depan. Itulah yang dilakukan para tukang becak di Jogja.

Tapi penyakit orang modern adalah sibuk dan glamor, bergelimang materi, tapi kering spiritual. Mungkin kita perlu melakukan renungan-renungan di ujung hari. Kita perlu belajar dari tukang becak di Jogja. Kita perlu membaca buku ”Waton Urip”. Dan, mungkin inilah juga kenapa saya suka memilih restoran-restoran di gedung tinggi . . . .biar sambil makan bisa melihat dunia dari sisi yang lebih tinggi hehe....

Pemberontakan Sunyi Lady Constance

Novel Sastra klasik ini menarik dan memiliki pesan yang dalam. Pernah dibahas Goenawan Mohammad dalam sebuah tulisan. Saya mencoba mengalirkannya kembali di sini. Setelah saya baca sendiri novel ini, sungguh bisa bikin deg-degan. Cara D.H. Lawrence menuturkan cerita dan mengalunkan bahasa untuk menggambarkan sesuatu yang sulit dibayangkan, sangat indah. Inilah sebuah karya sastra. Bahasanya ekspresif tapi juga komunikatif. Lady Chatterly's Lover adalah novel kedua yang ditulis oleh D.H. Lawrence pada tahun 1928. Saat itu, novel ini ditolak dimana-mana karena dianggap karya pornografis. Hanya ada satu penerbit Italia yang mau menerimanya. Novel ini bercerita tentang tokoh Constance Chatterley yang menikah dengan Sir Clifford, tuan tanah yang kaya. Sayangnya, Sir Clifford terluka dalam perang. Ia bukan saja lumpuh, tapi impoten. Kelebihannya hanya pada saat ia memimpin bisnisnya. Kehidupan bersama Sir Clifford, bagi Lady Constance adalah sebuah kesepian, kebosanan, kehampaan, dan ketertindasan. Dari waktu ke waktu ia merasakan penderitaan dalam keheningan. Ia akhirnya menemukan kembali gairah hidup setelah bertemu dengan Michaelis, lelaki yang tinggal menyendiri di sebuah gubuk di tanah milik Sir Clifford. Ia juga bekerja sebagai game keeper Sir Clifford, tugasnya mengurus burung-burung dan melepaskannya untuk jadi sasaran tembak.

Suatu malam mereka memadu kasih. Connie mengalami keajaiban gairah dalam persetubuhan yang telah lama tak dirasakannya. Dalam pagutan berahi kekasihnya, ia merasa diri "laut". Ia deru dan debur, samudara dengan gelombang gemuruh yang tiada putus. "Ah... jauh di bawah, palung-palung terkuak, bergulung, terbelah, ahh..." demikian ditulis dalam gelora dan gairah oleh D.H Lawrence. Sungguh suasana yang erotik dalam kalimat yang memiliki ritme naik turun. Kitapun terbawa dalam imaji yang, tak putus-putus.

Connie hamil dari hubungan gelap itu. Tapi ia tak takut. Dalam diamnya, ia memberontak. Ia menghendaki seorang anak meski sebenarnya ia juga mencintai lelaki kelas bawah yang jadi kekasihnya. Mereka saling mencintai. Itu kata-kata yang selalu mereka bisikkan di tempat tidur. Pada akhirnya Connie meminta cerai dari Sir Clifforrd. Tapi ditolak !! Kisah ini memang dibiarkan menggantung. Connie dan kekasih gelapnya menunggu. Tapi selebihnya memang tak penting. Pesan novel ini jelas, protes sudah disampaikan, bahkan dijalani dengan perbuatan. Bukan salah perempuan, bukan salah percintaan, bukan salah seks. Kesalahan adalah pada kerakusan manusia yang kadang melupakan sisi-sisi kemanusiaan itu sendiri.

Makan, Berdoa, dan Cinta

Elizabeth Gilbert, dalam kata-katanya, adalah tipe orang yang merasa ditakdirkan untuk hidup di Bali selama beberapa bulan. Dia adalah wanita yang menarik, blonde, senang bepergian, dan senang kepada hal-hal yang bersifat spiritual. Pada usia 34, Gilbert melewati masa yang sulit dalam hidupnya. Ia mengalami perceraian yang menyakitkan. Iapun memutuskan untuk mengambil gaya Diane Lane dalam "Under the Tuscan Sun, pergi selama setahun untuk travelling. Dia mengunjungi Italia untuk mengeksplorasi kenikmatan-kenikmatan dunia, ke India untuk belajar cinta kasih spiritual, dan ke Indonesia, entah untuk apa, pokoknya ia hanya mau melihat apa yang dilakukan orang di Indonesia. Setelah itu ia akan menulis sebuah memoar yang menyenangkan untuk dibaca. Itulah buku yang diberi judul "Eat Pray Love" (Viking; 352 halaman).

Di Roma, dia menambah berat badan 10 kilogram. Setiap hari menikmati Italian pizza--dan mempelajari seni mistis, "the beauty of doing nothing." Di India, ia belajar meditasi. Di Bali dia belajar dari seorang bijak, dan akhirnya ia menemukan kedamaian bersama seorang pria muda asal Brazil bernama Felipe.

Tapi, yang mungkin mengejutkan, adalah kisah Gilbert di bagian mengenai Doa. Ia menceritakan bagaimana ia belajar dan berjuang menemukan dirinya sendiri dan kedamaian. Membaca kitab-kitab berbahasa Sansekerta, meditasi di tengah gigitan nyamuk, adalah tahap-tahap yang dilaluinya untuk mencapai Nirvana. Diapun memahami seperti apa surga itu dalam meditasinya: "You may return here once you have fully come to understand that you are always here."

Friday, May 19, 2006

Menanyakan Benak Pikiran Tuhan


Salah satu buku yang pernah saya baca di tahun 90-an adalah karya Stephen Hawking, A Brief History of Time. Sayang buku itu terlalu tekhnis dan banyak memuat konsep-konsep yang membingungkan. Jadi terlewatkan begitu saja. Saya merasa gembira saat di tahun 2005, Hawking menangkap kegalauan itu. Bukunya yang terbaru, A Briefer History of Time, ditulis bersama Leonard Mlodinow, adalah buku scientific yang bernuansa pop. Di dalamnya tetap dijelaskan sifat dari ruang dan waktu, peranan Tuhan dan penciptaan, serta sejarah dan masa depan alam semesta. Namun di sana tak banyak ditulis konsep-konsep matematis dan persamaan-persamaan tekhnis. Inilah yang membuatnya enak dibaca.

Buku ini diawali dengan pertanyaan-pertanyaan perennial. Apa yang kita tahu tentang waktu? Kapan mulai diciptakannya waktu? Bisakah kita memutar balik waktu? Apa yang kita pahami tentang alam semesta? Bagaimana kita mengetahuinya? Dari mana alam semesta berasal? Dan kemana ia menuju? Apakah alam semesta memiliki awal? Bila ya, apa yang ada sebelum alam semesta? Pertanyaan ini menggelitik dan membuat buku ini semakin mengasyikkan untuk dibaca.

Pemahaman awal tentang alam semesta adalah mengenai bumi yang datar dan ditopang oleh kura-kura. Aristoteles meyakini bahwa bumi adalah pusat semesta. Meski masih menganggap bumi sebagai pusat, Ptolemy menyempurnakan konsep Aristoteles dengan sistem orbit. Barulah pada tahun 1514, Copernicus mengeluarkan teori yang menghebohkan pada waktu itu. Mataharilah yang menjadi pusat. Bumi mengelilingi matahari. Ide ini terus berkembang dan disempurnakan oleh Kepler dan Galileo Galilei. Di tahun 1687, Isaac Newton melalui bukunya Principia Mathematica mempresentasikan hukum bahwa semua benda adalah statis kecuali ada kekuatan yang mempengaruhinya. Kenapa planet bergerak mengelilingi matahari? Menurut Newton karena ada sebuah kekuatan yang dinamainya Gravitasi. Pemikiran Newton bertahan lama. Penyempurnaan demi penyempurnaan kemudian dilakukan oleh para ilmuwan. Muncullah pemikiran quantum mechanic. Kemudian disempurnakan oleh Einstein dengan teori relativitasnya.

Dalam relativitas diyakini bahwa alam semesta ini dimulai dengan terjadinya Big Bang. Inilah saat dimulainya waktu. Hal yang sama juga begitu. Akan tiba saatnya alam semesta berakhir, inilah yang disebut Big Crunch, saat berakhirnya waktu. Lantas kenapa waktu berjalan maju seperti kereta di atas rel. Mungkinkan kita berjalan mundur dalam waktu? Hawking mengatakan bahwa secara teori hal itu dimungkinkan. Namun saat ini kita belum memiliki kecanggihan alat. Tapi ia meyakini bahwa Tuhan memiliki rencana kenapa waktu berjalan maju. Einsteinpun pernah bertanya, Berapa banyak pilihan yang dimiliki Tuhan saat membuat alam semesta? Mengapa ia memilih alam semesta yang seperti ini. Penjelasan ilmiah terus menerus berupaya menguak pertanyaan tersebut.

Ujung dari cerita buku ini tetaplah sebuah pertanyaan dan harapan. Kenapa kita dan alam semesta ini ada? Sampai kita mampu menjawabnya, itulah puncak pencapaian kemanusiaan (human triumph). Memahami jawaban pertanyaan tadi berarti kita memahami apa yang ada dalam benak pikiran Tuhan.