Ruang Bacaku

“The ink of a scholar is holier than the blood of a martyr. A man reading is handsome in the sight of God. So learn to read. And when you have learned, teach !”. That is the Wisdom of Mohammad. This room is dedicated for those who love to read and teach

My Photo
Name:
Location: Tokyo, Japan

Economist, Philosopher, Food Lover. Lives in Tokyo, Japan.

Friday, September 18, 2009

Nasib Kelam Pimpinan Bank Sentral


Pengadilan terhadap unsur pimpinan bank sentral jarang terjadi di negeri lain. Namun, di Indonesia terjadi dari masa ke masa. Bank Indonesia tak pernah bisa dilepaskan dari lipatan kepentingan demi kepentingan, baik politik maupun ekonomi.

Kisah di balik pengadilan pimpinan Bank Indonesia (BI) yang telah dibukukan ini menarik untuk dibaca. Perubahan rezim Soekarno ke Soeharto, misalnya, membawa korban, yaitu diadilinya Jusuf Muda Dalam. Kemudian, pada perubahan dari rezim Soeharto ke zaman Reformasi terjadi penggantian mendadak terhadap Soedradjad Djiwandono. Selanjutnya, pada zaman Reformasi, korbannya adalah Syahril Sabirin atas kasus Bank Bali. Tidak cukup sampai di sini, terakhir adalah Burhanuddin Abdullah untuk kasus aliran dana BI.
Selain pemimpin nomor satu di bank sentral, hampir semua anggota Dewan Gubernur BI juga ikut diadili. Mereka adalah Aulia Pohan, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin.

Timbul pertanyaan, mengapa BI selalu berada dalam konstelasi politik dan ekonomi yang kisruh? Buku ini mencoba mencari jawabannya. Ditulis oleh mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang merupakan hasil perenungannya selama hampir satu setengah tahun menjalani proses hukum di balik tahanan.

Buku ini menarik karena bukan hanya bercerita mengenai kasus yang menimpa Burhanuddin. Bukan pula semata berisi pembelaan sebagaimana yang biasa ditulis banyak pejabat dari balik tahanan. Namun, buku ini justru berupaya memaknai konstelasi bank sentral di tengah kepentingan ekonomi politik.

Menghadapi badai
Dalam bukunya, Burhanuddin mengakui bahwa tak banyak orang yang paham dengan tugas dan fungsi dari bank sentral. Padahal, peran bank sentral diibaratkan seperti jantung yang memompa darah bagi tubuh manusia. Uang beredar serta jumlah dan fungsinya adalah darah yang pergerakannya diatur oleh bank sentral. Perekonomian akan berjalan secara dinamis dan bugar apabila peredaran uangnya tidak mengalami hambatan (hal 9). Tugas bank sentral dengan demikian sangat strategis dalam menjaga kestabilan perekonomian suatu negara.
Setelah menguraikan peran bank sentral dalam perekonomian pada bab 1 dan bab 2, Burhanuddin kemudian menceritakan kembali kasus aliran dana BI. Dalam menulis, ia melakukan perbandingan dengan beberapa kasus yang pernah terjadi, baik di dalam maupun luar negeri.

Saat krisis ekonomi menimpa, berbagai cara yang biasa digunakan dalam kondisi normal belum tentu dapat bekerja dengan baik. Sebagaimana Burhanuddin menulis, ”Upaya untuk keluar dari badai atau menghindari hantaman karang-karang itu bisa jadi tidak berarti sama sekali kalau orang tidak pernah mau tahu seperti apa badai yang terjadi atau bahkan tidak percaya ada badai. Cara pandang, pikiran, dan ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai segala upaya untuk keluar dari badai adalah untuk situasi dan kondisi yang normal. Tentu keduanya sulit bertemu” (hal 20).

Metafora ini digunakan Burhanuddin Abdullah saat menjelaskan kasus aliran dana BI, termasuk kebijakan BLBI pada masa lampau. Saat krisis tahun 1998, keadaan begitu kacau. Aturan- aturan hukum normal tidak berjalan. Saat itu perlu sebuah keberanian untuk melakukan penyelamatan terhadap ekonomi nasional. Ia menulis, ”Bantuan likuiditas adalah kebijakan yang lumrah pada masa krisis. Dan itu mampu menyelamatkan perekonomian kita untuk tidak rontok lebih jauh. Apabila dalam pelaksanaannya kemudian ada yang disalahgunakan, tentu bukan kebijakannya yang harus dipermasalahkan, tetapi penyalahgunaannya yang harus ditindak secara tegas dan pasti” (hal 21).

Terkait dengan aliran dana BI, hal serupa perlu dipertimbangkan. Saat kebijakan itu diambil pada tahun 2003, ada empat permasalahan utama yang dihadapi perekonomian Indonesia. Pertama, kredibilitas kebijakan Pemerintah dan BI yang rendah karena terlalu bergantung pada IMF. Kedua, kebijakan moneter kurang efektif dengan tingkat inflasi yang tinggi. Ketiga, kondisi perbankan yang belum solid. Dan, keempat, persoalan BLBI yang belum selesai sehingga menyebabkan kebijakan bank sentral tidak efektif.

Selain itu, Bank Indonesia sebagai bank sentral juga tidak dapat bekerja secara optimal karena amandemen Undang-Undang Bank Indonesia terkatung-katung dalam waktu yang lama. Kepentingan politik yang beraneka ragam menyebabkan proses amandemen itu berlarut-larut (hal 95).

Dalam kondisi seperti itu, Burhanuddin menyadari bahwa BI tidak akan mampu bekerja secara optimal. Apalagi untuk menghadapi kondisi ekonomi dan politik yang pada saat itu sedang sulit. Dalam pandangan Burhanuddin, Dewan Gubernur BI telah mengambil langkah strategis dengan itikad baik untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dimaksud, yaitu dengan melakukan langkah-langkah diseminasi kepada stakeholders BI.

Keputusan tersebut terbukti memberikan hasil positif berupa membaiknya kredibilitas BI yang kemudian mampu mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik. Ironisnya, kebijakan itu jugalah yang pada kemudian hari dipermasalahkan sebagai pelanggaran hukum.

Pelajaran berharga
Pada bagian penutup, Burhanuddin mencatat pelajaran yang dapat dipetik dari konstelasi bank sentral dalam kehidupan politik ekonomi nasional. Salah satunya adalah perlunya mengkaji arah bentuk dan sifat hubungan antara BI dengan lembaga pemerintah dan lembaga negara lain. Terutama yang cocok dengan sejarah dan tradisi pengelolaan ekonomi kita. Selain itu, perlu dipikirkan kembali proses rekrutmen anggota Dewan Gubernur BI. Proses saat ini adalah melalui fit and proper test di DPR. Cara ini rawan dengan politik uang serta proses dukung- mendukung berdasarkan partai politik dan kepentingan. Inilah yang kemudian diduga Burhanuddin rawan untuk ”pemerasan” oleh DPR (hal 271).

Membaca buku ini sungguh mengasyikkan karena Burhanuddin menulis dengan gaya bahasa yang ringan. Kalaupun ada kekurangan dari buku ini adalah kesan yang bercampur aduk antara suasana hati, proses hukum yang formal, dan arsip pengadilan yang panjang. Namun, hal itu tidak mengurangi kenikmatan membacanya.

Kasus hukum memang bisa dipandang dari berbagai sudut. Kala benar dan salah menjadi relatif, upaya menceritakan keduanya dari berbagai sudut pandang jadi menarik. Namun, satu pelajaran dari kasus ini adalah sikap berani mengambil risiko saat terjadi krisis demi kepentingan rakyat yang lebih luas. Sebuah sikap yang tak bisa dilakukan setiap orang.
Menarik apa yang disampaikan Emha Ainun Nadjib dalam kata pengantar buku ini, ”Penjara negara tidak lagi bisa diidentikkan dengan kesalahan. Dan kebebasan tidak berarti kebenaran. Yang lebih absolut lagi, penjara negara tidak sama dengan neraka, dan surga tidak pula bisa disamakan dengan sesuatu yang ada di luar penjara”.

Junanto Herdiawan Peneliti Ekonomi; Bekerja di Bank Sentral

Tulisan ini dimuat juga di Harian Kompas, 13 Agustus 2009

Labels: , , ,

Menjadi "Buddha" di Penghujung Ramadhan

Ramadhan usai sudah. Di penghujung malam, saya tepekur dan memandang sebuah kurun kehidupan yang penuh dengan dinamika. Warna kehidupan yang tak hanya terang, namun juga berisi rona dan bayang kelam. Betapa hidup berlewat begitu saja. Khutbah pak ustadz di tarawih terakhir memukul diri. Ia mengutip Sura Al Takwir [81]: 26. Bunyinya, Fa aina tadzhabun. “Lalu, akan ke mana kamu pergi?” Sebuah pertanyaan yang pedih bila kita tak tahu jawabnya.

Pagi ini, sehabis sahur, saya menyelesaikan halaman terakhir dari novel Deepak Chopra yang berjudul “Buddha”. Sebuah novel yang apik dan menarik. Di novel ini, pertanyaan pak Ustadz di malam hari mengejawantah. Bahwa ujung Ramadhan adalah juga mencapai cara menjadi Buddha. Bahwa perjuangan mencari makna adalah perjuangan menguasai diri sendiri.

Berapa panjang jalan harus ditempuh seseorang untuk mencapai titik itu? Jawabnya tak pernah sama. Tak ada yang tahu pasti seberapa jauh perjalanan manusia mampu membuat manusia memahami kemanusiaannya. Manusia adalah teka teki yang senantiasa mencari solusi. Manusia tak pernah sama dengan hewan. Ia hanya bisa lebih mulia, atau lebih rendah dari hewan. Perjalanan manusia menemukan kesejatian dirinya inilah yang digambarkan Deepak Chopra dalam novel ’Buddha’. Saat masih bayi, para pendeta meramal takdir dari Siddhartha. Takdir masa depannya adalah “menguasai jiwanya sendiri”. Sang ayah hanya tersenyum. Tapi pendeta berkata, "Kau pikir itu mudah? Menguasai dunia adalah permainan anak-anak. Menguasai jiwamu adalah seperti menguasai semua ciptaan. Hal itu bahkan lebih tinggi dari para dewa".

Siddhartha mengajarkan langkah untuk menguasai jiwa sendiri. Itulah jalan menuju ketenangan. Semua ajaran Siddharta merupakan “jalan tindakan” (kama marga) untuk menuju realisasi sang Ada Absolut (Absolute Being). Itulah jalan menuju yang Illahi. Perjalanan hidup manusia yang fana, tak akan menjadi kesia-siaan jika manusia mampu menemukan suatu titik kemuliaan yang membawanya melampaui kefanaan tersebut. Siddhartha mengajak kita semua melampaui diri kita sebagai manusia.

Ajakan yang sama diserukan berulangkali oleh Yesus dan Rasulullah SAW. Tak heran bila filsuf yang paling atheis sekalipun, seperti Nietzche, menyebut Buddha, Yesus, dan Muhammad, sebagai orang besar. Lewat mereka, kita bisa mengatur dan mengendalikan dorongan duniawi yang fana.

Novel ’Buddha’ mengajak kita melihat kehidupan apa adanya. Siddharta mengajak kita melalukan sebuah perjalanan dari dunia material yang penuh hasrat menuju puncak spiritual tertinggi. Persis seperti saat kita menapaki Candi Borobudur, tingkat terendah adalah nafsu dunia (kamadhatu), kemudian meningkat menjadi nafsu yang membebaskan diri (rupadhatu), dan yang tertinggi adalah alam atas atau nirvana (Arupadhatu). Di sini, yang ada hanyalah kekosongan. Stupa yang kosong, dan dinding tanpa relief. Itulah puncak pengendalian jiwa. Dalam Islam, inilah nafsu muthmainah, hanya ada dalam jiwa-jiwa yang tenang (QS Al Fajr [89]: 27).

Menjadi Buddha adalah sebuah perjalanan panjang. Siddhartha sendiri memulainya sebagai pangeran muda yang dipenjara oleh ayahnya di Istana, agar tidak melihat penderitaan di luar dinding Istana. Saat ia melihat kenyataan hidup yang pedih, pangeran Siddharta memutuskan menjadi pertapa dengan meninggalkan istana berikut gelar pangerannya. Hingga akhirnya, ia berhasil mencapai pencerahan dan menaklukkan hawa nafsu dunia yang menguasai tubuh dan pikirannya.

Perjalanan Buddha bukan hanya menginspirasi umat Buddha, namun juga para filsuf macam Nietzche, Heidegger, Levinas, Marcel, hingga Sartre. Nietzche mengajarkan agar manusia melampaui ke-manusia-annya sendiri. Menjadi uebermensch atau beyond man. Heidegger mengajarkan kita mencari makna “Ada” yang absolut. Manusia bisa menjadi “Das Sein” dan bukan sekedar “Das Man”. Bahwa manusia merenungkan “Ada” nya di dunia bukan sebagai spesies manusia ataupun malah kerumunan hewan. Levinas dalam bukunya “Total and Infinity” mengajarkan tentang “Aku” yang memperluas diri. Kesemuanya adalah menaklukkan hasrat yang mengikat manusia. Melampaui bukan berarti menolak atau melarikan diri, tapi justru dengan menghadapi dan mengendalikan dorongan hasrat serta mengarahkannya pada tujuan mulia.

Novel ini mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi Buddha. Hal ini karena Buddha adalah jalan kehidupan. Ungkapan itu persis seperti diungkap Heidegger bahwa manusia bukan sekedar untuk ‘Ada’ (To Be) di dunia, melainkan selalu dalam proses meng-Ada (To Becoming) di dunia. Hidup yang becoming berarti hidup yang meng-Ada-nya tak pernah selesai karena hidup itu terus-menerus menjadi inspirasi bagi kehidupan orang lain.

Buddha menghadapi kehidupan yang tak mudah. Ia harus melalui penderitaan, siksaan, hingga ancaman. Tapi Buddha berjalan terus mencari pencerahan. Dan keindahan hidup justru terletak pada bagaimana manusia mampu menghadapi itu semua dengan rasa cinta terhadap kehidupan ini. Upaya mencintai kehidupan dan mengendalikan jiwa adalah ajaran para orang besar. Usai menjalani sebuah perang, Muhammad SAW mengatakan, "Jihad yang paling utama adalah engkau perangi dirimu sendiri karena Allah. Orang yang paling hebat bukanlah orang yang dengan mudah membanting atau mengalahkan lawan. Orang kuat adalah orang yang mampu menguasai nafsunya ketika marah”. Selanjutnya, Imam Ali juga mengajarkan, “Ketahuilah bahwa jihad yang paling agung adalah jihad melawan nafsumu. Maka sibukkanlah dengan jihad melawan dirimu, kamu akan memperoleh kebahagiaan”. Ya, kebahagiaan atau eudomonia, adalah tujuan akhir manusia yang menjadi.

Membaca buku Deepak Chopra ini sungguh mencerahkan. Sejak 1987 hingga sekarang, sekurangnya 35 buku telah ditulis oleh Chopra. Setelah menulis novel ’Buddha’, ada dua buku lagi dari Chopra, yaitu The Third Jesus: The Christ We Cannot Ignore (2008) dan Why Is God Laughing? The Path to Joy and Spiritual Optimism (2008). Pandangan Chopra mampu melampaui sekat-sekat yang memisahkan agama satu dengan yang lain. Karya-karya Chopra tersebut layak dibaca oleh pemeluk agama apapun.

Di penghujung Ramadhan ini, saya hanya bisa menyadari, bahwa jalan menuju Buddha masih sangat panjang bagi saya. Di titik ini, benar kata pak Ustadz semalam, bahwa saya masih hidup dalam gelisah dengan roller coaster kehidupan. Yang kadang naik, kadang terbanting, dalam emosi, narcisisme berlebihan, nafsu rendah, godaan dunia, dan amarah. Itulah tahapan terendah dalam kemanusiaan.

Sayapun teringat pesan Paus Benediktus XVI dalam encyclical (section 29), “Man is not a lost atom in the random universe”. Manusia bukanlah atom yang hilang dalam semesta yang random. Atom bergerak random, tapi manusia bergerak mencari makna. Tanpa makna, Paus Benediktus melanjutkan “It just makes us neighbour, but it doesnt make us brother”.

Semoga kita bisa semakin menjadi “manusia”.

Labels: ,