Ruang Bacaku

“The ink of a scholar is holier than the blood of a martyr. A man reading is handsome in the sight of God. So learn to read. And when you have learned, teach !”. That is the Wisdom of Mohammad. This room is dedicated for those who love to read and teach

My Photo
Name:
Location: Tokyo, Japan

Economist, Philosopher, Food Lover. Lives in Tokyo, Japan.

Tuesday, October 17, 2006

Mencintai Che

Kita mungkin mengenal nama-nama Gubernur Bank Sentral semacam Alan Greenspan, Paul Volcker, Eddy George, Mervyn King, ataupun Jean Claude Trichet. Tapi mungkin tak banyak yang tahu bahwa Che Guevara adalah juga seorang Gubernur Bank Sentral. Ya, ia adalah Gubernur pertama Bank Sentral Kuba (Banco Nacional De Cuba) sejak Fidel Castro berkuasa di tahun 1959. Uang kertas pertama yang dikeluarkan Bank Sentral Kuba, ia yang menandatanganinya, “Che”, begitu tertulis di sana.

Ernesto Che Guavara, yang juga biasa disebut El Comandante Guevara, adalah sosok yang penuh kisah. Pemberontakan, perang, darah, kematian, penyakit, pengkhianatan, kelaparan (ia bahkan pernah makan kucing panggang), adalah perjalanan hidupnya. Termasuk pula di dalamnya, kisah romantismenya. Ana Menendez, penulis kelahiran Kuba, menuliskan penggalan kisah romantis Che dalam novelnya yang pertama, Loving Che. Menendez mencoba membawakan kembali spirit Guevara dan jiwa revolusi ke dalam sebuah novel yang diwarnai oleh kerinduan, kehilangan, dan cinta yang digerakkan oleh nafsu membara.

Kisah buku ini bercerita tentang seorang anak yang mencari identitas sejarahnya. Ditinggalkan oleh ibunya, ia dibesarkan oleh sang kakek di Amerika. Ketika ia berangkat dewasa, ia berjuang untuk mencari tahu siapa orang tuanya dan darimana ia berasal. Pencariannya membawa ia pada masa-masa awal Revolusi Kuba. Menendez, menggambarkan secara baik keadaan di Kuba saat-saat revolusi. Ia mengajak kita menjelajahi lanskap kota Havana yang lengkap dengan arsitektur dan udaranya yang berhembus panas ataupun udara hujan yang menggigil. Pembaca seolah diajak merasakan lika-liku kota Havana dengan mata kepala sendiri.

Pada ujungnya, pencarian sampai pada sebuah kisah bahwa sang ibu adalah kekasih gelap Che Guavara. Mereka berdua menjalin cinta terlarang. Che telah beristri dan Teresa, sang ibu, telah bersuami. Hubungan mereka berbuah pada kehamilan sang ibu. Detil romantisme percintaan mereka digambarkan dengan sangat menarik oleh Ana Menendez. Metafora ungkapan sebuah ciuman dan hubungan persetubuhan dialirkan secara puitis.

"A kiss. The first parting of flesh. Everything that comes later is sweet elaboration. The first kiss is more intimate than the naked bed; its small perimeter already contains the first submission and the final betrayal." atau hubungan yang hangat di suatu malam “…..His body before me, freckled and soft, his skin tacky to the touch with dried sweat. Slowly, I follow his movement. We watch one another. His breathing changes. He closes his eyes. When he speaks again, it is with a voice that comes from worlds away…”

Sayangnya, buku ini hanya menceritakan figur Che Guavara secara potongan yang tidak lengkap. Bagi para penggemar Che, buku ini bisa mengecewakan. Tapi bagi penggemar aliran romantisme, buku ini termasuk buku yang ringan dan enak dibaca di waktu luang. Setidaknya buku ini memberikan kita pelajaran bahwa Che adalah orang yang yakin bahwa pengalaman kerasnya, dalam rimba dan perjuangan, merupakan proses untuk ”lulus sebagai manusia”.

Amy Tan dan sumirnya kebenaran

Buat para penggemar novelnya Amy Tan, bakal kaget deh kalau membaca novel barunya yang berjudul “Saving Fish from Drowning”. Novel terdahulu, The Joy Luck Club (sempet dibikin film layar lebar), The Kitchen God's Wife, The Hundred Secret Senses dan The Bonesetter's Daughter — menjadi best sellers dan memfokuskan cerita pada hubungan anak perempuan dan ibunya, serta berlatar belakang China Amerika. Tapi di novel ini, beda banget. Amy Tan justru bercerita tentang dunia politik. Dan latar belakangnya niy, bukan China atau Amerika. Tapi ia membawa kita ke Myanmar.

Kisah dalam buku ini dinarasikan oleh Bibi Chen, seorang pemandu wisata yang tewas dibunuh sebelum membawa serombongan serombongan turis Amerika untuk berwisata di Myanmar. Ia seolah bercerita dari alam kuburnya. Rombongan turis Amerika itu tetap melakukan perjalanan tanpa Bibi Chen. Mereka diculik di tengah jalan oleh suku pedalaman. Suku tersebut beranggapan bahwa seorang anak dari turis Amerika yang berusia 15 tahun adalah titisan dewa yang akan menyelamatkan mereka dari junta militer Myanmar. Meski diculik, para turis itu diperlakukan secara baik oleh para penculiknya. Mereka bahkan tidak tahu kalau sedang diculik. Mereka hanya diberitahu kalau jembatan di depan sedang roboh. Kisah selanjutnya bergeser pada berita media internasional yang memberitakan hilangnya turis tersebut. Junta militer Myanmarpun ditekan oleh dunia internasional untuk menyelamatkan turis Amerika. Junta itu menggunakan kasus ini sebagai alat untuk mencari keuntungan politik. Akhir novel ini dibiarkan mengambang. Kita dihadapkan pada pilihan terbuka, siapa yang benar, siapa yang salah, kita menilai sendiri.

Saving Fish from Drowning diambil dari kisah seorang bijak yang bercerita kepada muridnya, “Adalah sebuah kejahatan untuk merenggut kehidupan dan merupakan kehormatan untuk menyelamatkan kehidupan. Oleh karenanya, setiap hari saya berikrar untuk menyelamatkan ratusan nyawa. Saya melempar jala ke danau dan mendapatkan ratusan kehidupan. Saya letakkan ikan-ikan itu di pinggir danau, mereka melompat dan menggelepar. Saya katakan, jangan takut, saya menyelamatkan kalian agar tidak tenggelam di danau. Tak lama kemudian, ikan-ikan itu mulai tenang dan diam. Sayangnya, aku selalu terlambat menyelamatkan mereka. Ikan-ikan itupun mati. Dan karena juga merupakan kejahatan untuk menyia-nyiakan sesuatu, saya bawa ikan-ikan itu ke pasar dan saya jual dengan harga yang baik. Dengan uang yang saya dapatkan, saya membeli lagi lebih banyak jala sehingga saya bisa menyelamatkan banyak ikan.”

Kisah itu menggambarkan bahwa pada satu titik kebenaran adalah sebuah ironi. Tergantung bagaimana kita melihatnya. Demikian pula kita dalam melihat kehidupan dan tingkah laku kita sendiri. Kita pandai membenarkan segala laku kita, menjustifikasi perbuatan kita karena kita dikaruniai otak. Kita mengenal tiga jenis kebenaran. Kebenaran diri sendiri, kebenaran orang banyak, dan kebenaran hakiki. Dimana ‘kebenaran’ kita berada? Hanya kita sendiri yang bisa menjawab. Itulah salah satu moral cerita dari novel Amy Tan.

Pi dan Semangat yang Tak Pernah Redup

Buku ini meraih The Man Booker Prize pada tahun 2002 dan menjadi bestseller internasional. Dibicarakan dimana-mana. Sayapun akhirnya tertarik juga untuk membaca. Ternyata memang betul, buku yang didasari kisah nyata ini adalah sebuah karya sastra yang indah dan dituturkan dengan cara yang sangat baik oleh Yann Martel. Kisahnya menyentuh sisi religiositas, agama, dan Ketuhanan.

21 Juni 1977, Piscine Molitor Patel, yang biasa dipanggil Pi, terkatung-katung di Samudra Pasifik selama 227 hari (lebih dari 7 bulan) dalam sebuah sekoci bersama seekor harimau royal bengal seberat 225 kg, seekor hyena, seekor orang utan Kalimantan, dan seekor Zebra. Waktu itu, Pi Patel berusia 16 tahun. Dia bersama keluarganya sedang dalam pelayaran pindah dari India ke Kanada. Kapalnya tenggelam dan hanya Pi yang selamat dalam sebuah sekoci. Pi menghadapi situasi yang buruk. Ia harus mempertahankan hidupnya di dalam sekoci itu. Hukum saling memangsa berlaku. Pi di pintu maut, antara diterkam harimau, hyena, atau tenggelam dimakan hiu. Di situlah taruhannya. Pi diuji keyakinannya akan Tuhan. Dalam keadaan serba sempurna, kita gampang saja bicara tentang Tuhan. Tapi dalam keadaan penuh kemalangan dan doa-doa yang tak terjawab, Tuhan menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Tuhan menjadi begitu jauh dan tak terjangkau. Di situlah kadang kita diombang-ambingkan dalam kepercayaan pada Tuhan. Pi dihadapkan pada masalah itu. Tapi Religiositasnya mampu mengalahkan keraguannya.

Pi serasa dicabut dari kehidupannya yang serba indah, ia adalah anak terpelajar dari keluarga terpandang di India. Tak pernah terbayangkan ia harus melalui penderitaan seberat ini. Tapi ia mampu menerima berbagai cobaan yang tak sesuai dengan harapannya. Ia berkata, “Ternyata segala sesuatunya tidak berjalan sesuai harapan, tapi apa yang bisa kita lakukan? Kita mesti menerima apa-apa yang diberikan kehidupan ini pada kita, dan berusaha menjalaninya sebaik mungkin.” (hal 142). Kepasrahan dan keikhlasan menerima apa yang diberikan kehidupan itu yang membuat Pi dapat bertahan. Saat ia berada pada titik terendah keputusasaannya, ia berkata ”Aku hendak menyerah. Aku pasti sudah menyerah kalau bukan keyakinanku bahwa Tuhan besertaku. Ada orang yang menyerah pasrah begitu saya. Ada orang yang masih berjuang sedikit, lalu putus asa. Tapi ada pula orang-orang yang – aku salah satunya – tak pernah menyerah. Kami terus berjuang, terus dan terus berjuang.”(hal 216).

Sungguh sebuah cerita yang dituturkan secara memesona. Studi zoologinya kaya dan sisi humornya tak terduga. Ceritanya tentang agama dan Tuhan juga menarik. Pi mempraktekkan tiga ajaran agama sekaligus, Hindu, Kristen, dan Islam. Kalau Tuhan yang menciptakan agama, kenapa kita tak boleh mengambil semua jalannya? Begitu pikir Pi. Buku ini membawa pesan yang dalam dan menyentuh bagi kita yang selama ini terjebak dalam ritual-ritual agama tanpa pernah bertanya, bagaimana sebenarnya agama dapat menciptakan perdamaian di dunia. Kepercayaan pada Tuhan harus diiringi oleh kerja keras, terus berjuang, dan pada ujungnya menebarkan cinta kasih pada sesama.... nice to read.

Kompleksitas Putri Pawang Hujan

Guna mengenang ditutupnya toko buku QB, saya ulas sedikit buku karya Richard Oh, the rainmaker’s daughter, yang saya beli pertengahan tahun lalu. Buku ini sungguh indah dan narasinya sangat penuh warna. Namun ceritanya kompleks. Bagi penggemar prosa, puisi, dan keindahan, akan menemukan buku ini menarik, bahkan sangat menarik. Buku ini bercerita tentang perempuan misterius berinisial K, yang berusaha melarikan diri dari masa lalunya di tempat kelahirannya di pedalaman Kalimantan. Ia melarikan diri ke ibukota. Pada akhirnya ia tak mampu melawan tarikan masa lalu yang membawanya kembali ke pulau tempat tragedi hidupnya dimulai dan diakhiri. The start of each day means for you another day to remember. For me, it's another day to forget" (hlm. 97), demikian ucap K kepada Hadrian, tokoh sentral dalam novel ini.

Hadrian adalah seorang pengacara mapan yang kehidupan sehari-harinya identik dengan pesta ke pesta, bar ke bar, dan klien ke klien. Semuanya mulai dirasakan monoton serta membosankan. Kehadiran K - lah yang merubah irama hidupnya. K mampu membawa Hadrian keluar dari rutinitas dan menjelajahi kehidupan dan kedalaman jiwa manusia yang tak terduga. Mereka berdua menjalin sebuah hubungan yang kompleks. Hadrian akhirnya selamat dari jeratan kehidupannya yang membosankan. Ia tak lagi melawan, ia tak lagi bertempur dengan masa lalunya karena masa lalu dan masa kini telah menyatu, bahkan menggandeng masa depannya. Pertemuan dengan K telah membuka kesadarannya. Hadrian telah lahir kembali. Sayangnya, K tak hadir untuk menyaksikannya. Peranan K sebagai tokoh selesai ketika "misinya" untuk membantu Hadrian keluar dari kesempitan hidupnya usai. Itulah misi K dalam hidupnya. K akhirnya harus kembali menjemput kematiannya di Kalimantan. Ia lelah berlari. Ia ingin kembali. "I'm tired of running. There's no corner of this world where I can hide from your memory. I'm back... I'm coming home to you" (hlm. 196).

Buku ini ditulis dengan sangat menarik, menceritakan secara bagus dan detail tentang tradisi, budaya, dan kehidupan masyarakat di Kalimantan. Cocok dibaca bila anda menginginkan novel yang menantang dan kompleks